Bermacam-macam cara orang merasa berbahagia. Seorang Petani Indonesia, yang mempunyai sebuah gubuk dan seekor burung perkutut sudah merasa berbahagia sekali. Orang Inggris menghirup the panas dan mengenyam sepotong kue kering pukul 5 petang sambil ngenet hunting berita-berita terkini merasa bahagia pula. Seorang Bupati yang instruksi-instruksinya tidak tembus kebawah, lalu menyibukkan diri dengan memancing di empangnya pasti berbahagia pula.
Bagi warga Aceh zaman DOM dulu lain lagi ceritanya. Kalau ditengah malam yang sunyi-sepi pintu rumahnya diketuk orang dan waktu dibuka, ternyata Tentara Jakarta dan menanyakan apakah dia mengetahui keberadaan GAM, dia akan bahagia sekali dapat menyatakan, “ Maaf tuan, keluarga GAM ada dikampung sebelah”.
Orang-orang Aceh ketakutan mendengar tentara Jakarta. Berbagai cara tentara-tentara Jakarta pada masa pemberlakuan DOM melakukan interogasi dan penganiayaan di Pos-pos siksaan.Untuk memperoleh pengakuan tersangka, tentara tidak berpijak pada bukti-bukti objektif yang dikumpulkan secara ilmiah, tetapi dengan menarik pengakuan paksaan dengan cara-cara kurang manusiawi: pengasingan di ruangan sempit, gelap, dan tampa makan dan minum, jadi memaksakan mogok makan dan dibiarkan tidak dikunjungi dan mendengarkan berita dari luar. Siksaan yang paling primitif adalah tendang dan tinju sampai pingsan. Sesudah siuman, dipukul lagi kalau tidak mau mengaku penyiksaan ditingkatkan, misalnya dengan mencabut bulu, kuku, atau gigi; membakar pucuk hidung, cuping telinga, tanda kelamin sekunder atau auran dengan ujung rokok yang membara. Lebih meningkat lagi, tersangka diberi rangsang listrik (electroshock) pada jari dan aurat (misalnya kabel dimasukkan kedalam uretra), dijepit kelenjar kelaminnya dengan peremuk testis, atau diperkosa bertahap dan bergilir, serta diancam dengan teror mental. Ia dapat digantung dengan kepala dibawah, ditampar-tampar sambil dipaksa mengaku.
Cara yang maha sadistis adalah menjepit punggung kaki dengan kaki kursi besi yang diduduki, menyuruh berdiri bugil dalam feses atau menompa dada dan lututnya dengan balok, lalu mendesakkan pengakuan, sambil mendongkrak pinggangnya keatas dalam keadaan telentang. Untuk merendahkan martabatnya sebagai siksaan bathin dapat dicium sepatu laras penginterogasi dan dikumpulkan berjejal-jejal dalam sel sempit dalam keadaan bugil, atupun dicaci maki sampai mulut penyiksanya berbusa dan berbau.
Kalau kita lihat-lihat alat penyiksa yang rutin dipakai sampai abad ke-18 milik orang Amerika dan Eropa ketika searching di Om. Google. Kita terkejut oleh sejarah kekejaman manusia terhadap sesamanya telah berlangsung begitu lama. Carah membunuh musuh dengan cara perlahan-lahan dengan mempergunakan bberbagai macam alat pasti memualkan perut manusia biasa. Tetapi kenyataan ini harus kita ketahui, kalau kita ingin menghapuskannya untuk kebudayaan manusia masa depan.
Kita sekarang telah beruntung sekali karena DOM telah berpulang, Tentara Jakarta (TNI) telah profesional dan menghormati HAM. Janganlah kita lagi terjerembab ke masa lalu, dimana penyiksaan-penyiksaan dilakukan secara sistematis di negeri ini. Tulisan ini saya buat semata-mata untuk mengingatkan kita semua bahwa menyiksa fisik dan mental sesama manusia itu salah, terlepas dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan atau dituduhkan kepada mereka. Jayalah manusia jayalah HAM.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar