Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

AMMATOA MANGKAT



Ammatoa Mangkat - Masyarakat adat Ammatoa di Dusun Benteng, Desa Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Bulukumba berduka. Pemimpin adat mereka, Ammatoa Puto Bekkong, mengembuskan napas terakhir di rumahnya yang sederhana, pukul 03.00 Kamis 22 Juli. 

Puto Bekkong meninggalkan sepuluh anak dari dua istrinya. Istri pertamanya, Jamonro, telah meninggal beberapa waktu lalu. Sementara istri keduanya, Rampe, masih hidup. 

Puto Bekkong wafat dalam usia lebih satu abad, 110 tahun, setelah sakit selama beberapa bulan terakhir. Prosesi pemakaman Puto Bekkong dilakukan secara Islam dengan ritual adat yang sangat kental. 

Saat penulis mendatangi kawasan adat Ammatoa Kajang, pukul 13.00 Wita kemarin, dari kejauhan tabuhan gendang lamat-lamat terdengar. Suara itu terdengar setelah berjalan sekitar 500 meter dari gerbang kawasan adat. Inilah pertanda bahwa masyarakat adat Ammatoa Kajang sedang berduka. 

Bukan hanya gendang tradisional yang terus ditabuh, namun juga alu penumbuk padi yang dihentak-hentakkan ke lesung, menimbulkan suara gaduh namun berirama. Di halaman rumah duka, ada lima gendang dan dua lesung yang ditabuh terus-menerus oleh warga secara bergantian sejak Ammatoa Puto Bekkong dikabarkan meninggal. 

Tabuhan gendang dan tumbukan alu ini adalah cara tradisional masyarakat setempat untuk mengabarkan kepada warga di kampung bahwa Ammatoa meninggal. Oleh masyarakat setempat, tabuhan gendang ini disebut Pakanjara, sedangkan tumbukan lesung disebut Padekko. 

Di situ, ada juga keranda baru dibuat yang akan digunakan mengantar jenazah Puto Bekkong. Keranda tersebut disanggah belasan potongan pohon pinang dan dililit kain setinggi satu meter. Pute Bekkong dimakamkan di tempat para Ammatoa sebelumnya, masih dalam kawasan adat. 

Sementara seratusan pelayat berbagi duka berkumpul di halaman rumah dan di jalan; anak-anak, dewasa dan orang tua, laki-laki-perempuan. Seratusan pelayat ini umumnya mengenakan pakaian khas Kajang yang serba hitam; baju dan sarungnya semua berwarna hitam, tanpa alas kaki. Yang laki-laki mengenakan ikat kepala serba hitam. Tidak ada kursi yang disiapkan bagi pelayat. 

Yang menarik, sebagian di antara mereka tidak mengenakan baju. Kaum perempuan hanya menutupi auratnya dengan sarung. Sedang laki-laki bertelanjang dada. Mereka yang tidak mengenakan baju ini adalah keluarga dekat almarhum. Ini dilakukan sampai seratus hari setelah meninggalnya Ammatoa. 

Sesaat kemudian, sebatang pohon kelapa yang terletak di samping rumah Puto Bekkong ditebang sebagai bagian dari ritual pemakaman Ammatoa ini. "Ritual yang dilakukan saat memandikan jenazah ini disebut Itilappo," kata seorang warga setempat bernama Halang, ditemui di rumah duka. 

Sementara itu, gendang dan lesung terus ditabuh. Sesekali terdengar teriakan histeris dari atas rumah panggung, tempat Ammatoa disemayamkan. Keluarga Puto Bekkong larut dalam duka mendalam. 
Di samping ritual adat, prosesi pemakaman dilakukan sama seperti umat Islam lainnya. Mulai dari memandikan jenazah, menyalatkan, dikafani sampai pada prosesi pemakaman. 

Khusus kain kafan wajib disiapkan oleh pemangku adat, semacam menteri yang disebut Galla Pantama dan Moncongbuloa. "Di sini ada istilah mati siroko. Jika pemangku adat ini tidak dating, dia akan dipecat," kata Abd Azis, kerabat Puto Bekkong saat ditemui di rumah duka. 

Puto Bekkong telah dimakamkan kemarin di pekuburan tempat para Ammatoa sebelumnya. "Puto Bekkong adalah Ammatoa ke-17. Tapi kalau kita ke pemakaman, tidak semua akan kelihatan kuburannya," kata Abd Azis.

Dia menjelaskan, selama 20 hari setelah dimakamkan, akan dilakukan ritual Makalli atau memagari pusaranya. Seratus hari berikutnya dilakukan Madangang atau puncak dari hari berduka. "Pemilihan Ammatoa akan dilaksanakan tiga tahun setelah meninggalnya Puto Bekkong. Pemilihan ini dilakukan secara adat," tambah Abd Azis. 

Selain warga setempat, sejumlah pelayat dari luar kampung ini juga berdatangan. Sampai siang kemarin, pejabat yang hadir di antaranya Bupati Bulukumba AM Sukri A Sappewali didampingi sejumlah pejabat seperti Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMD) Bulukumba, Andi Mahyuddin. 

Hadir pula Seorang Anggota DPRD Bulukumba, Andi Abu Thalib, Kapolsek Kajang AKP Abd Wahid, termasuk Kepala Desa Tanah Toa Sultan. 

Bupati Sukri Sappewali ditemui saat melayat, mengaku berduka atas wafatnya Ammatoa Pute Bekkong. "Atas nama pribadi dan keluarga serta masyarakat, Bulukumba berduka cita atas kepergiannya," ujarnya. 

Sayangnya, tak satupun anaknya atau istri almarhum yang bersedia diwawancarai wartawan. Bahkan, keluarga dekat almarhum melarang wartawan media elektronik mengabadikan gambar. 

Dualisme Kepemimpinan 

Keterangan sejumlah warga yang ditemui di rumah duka diketahui, bahwa di kawasan adat Ammatoa ini terjadi dualisme kepemimpinan. Ada dua Ammatoa yang masing-masing diakui oleh warga setempat. 
Selain Puto Bekkong yang telah meninggal kemarin, disebutkan pula Ammatoa lainnya bernama Puto Palasa. Ammatoa kedua ini masih hidup dan berusia 45 tahun. 

Dualisme kepemimpinan ini, awalnya terjadi saat pemilihan sembilan tahun silam setelah Ammatoa sebelumnya meninggal. Saat itu, dua Boheanrong (kerbau tua) atau yang menentukan Ammatoa berbeda pendapat. Boheanrong Dipangi memilih Pute Bekkong, sedangkan Boheanrong Dibongkina memilih Pute Palasa. Keduanya dilantik menjadi Ammatoa pada hari yang sama. 

Sebenarnya, kedua Ammatoa ini memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat, Puto Palasa adalah anak kemanakan dari Puto Bekkong. 

"Tapi masyarakat di sini tidak membeda-bedakan kedua Ammatoa ini. Ada yang mengakui Puto Palasa, ada juga yang mengakui Puto Bekkong. Terserah masyarakat. Masyarakat bisa memilih salah satu Ammatoa, kalau ada pesta pernikahan, atau pesta kalomba," kata Suto, warga asli di Tanah Toa.
Source: Harian Fajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar