Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 – 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.Makam Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir.
Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai.
Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama.
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Perdagangan
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.
Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikus saleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. “Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai,” tutur Yakub.
Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan
keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat. makam Malikal Zahir.
Menurut Snouck Hurgronje, hubungan langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru.
Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka. Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya Sultan Muhammad (th 1297 – 1326)
lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir, penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 – 1348), juga pakai nama Malik Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin.
Raja Zainal Abidin pada tahun 1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit, karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke Cina sebagai tanda persahabatan.makam Naina Hisana bin Naina.
Fatahilah, ulama terkemuka Pasai menikah dengan adik Sultan Trenggono(raja Demak/adik Patih Unus/anak Raden Patah). Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa (22 Juni 1522) berganti nama menjadi Jayakarta, juga Cirebon dan Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar