BAGIAN II GAMBARAN UMUM PARIGI
Parigi: Masa Kerajaan Sampai Kecamatan
Parigi adalah salah satu dari delapan belas kecamatan yang tergabung ke dalam daerah administratif kabupaten Gowa. Letak Parigi berada di sebelah Timur pegunungan, sehingga daerah ini juga dikenal sebagai Butta Turaya (negeri di bagian timur Gowa).
Menurut cerita rakyat yang berkembang di daerah ini, bahwa jauh sebelum di kenalnya kerajaan Gowa pasca Tumanurung Bainea ri Tamalate, sudah ada suatu kerajaan yang kelak kerajaan ini adalah cikal bakal kerajaan Gowa yang termasyur. Letak kerajaan Gowa purba ini di perkirakan berada di Parigi dan sekitarnya. Raja pertama yang memerintah kerajaan Gowa Purba juga adalah seseorang yang tidak diketahui darimana asal-muasalnya atau Tumanurung. Raja ini dikenal sebagai Batara Gowa. Batara Gowa dalam menjalankan pemerintahannya, di Bantu oleh suatu dewan yang disebut Bela Appaka ( pembantu yang empat), yakni Bela Punranga di Borisallo, Bela Ta’sese di Manuju, Bela Longka di Parigi dan Bela Borong di Bontomanai Iraya.
Keberadaan Gowa purba ini sayangnya tidak meninggalkan bukti tertulis(lontarak). Satu-satunya yang menjadi informasi tentang kerajaan Gowa purba adalah cerita rakyat turun-temurun. Tapi satu yang pasti bahwa di wilayah Butta Turaya sudah lama muncul suatu kerajaan.
Parigi adalah sutu kerajaan yang kemudian menjadi kerajaan independen yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Kare Parigi. Sesudah berakhirnya masa jabatan Kare Parigi, maka para penggantinya tidak disebut lagi sebagai Kare Parigi melainkan dengan sebutan Karaeng Parigi.
Ketika Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi Kalonna (1510-1546) Berkuasa, raja ini memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan beberapa daerah sekitarnya, antara lain Garassik, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Pa’nakkukang, Campaga, dan daerah lainnya.3 Sejak kepemimpinan raja Gowa IX ini, maka wilayah Parigi dan sekitarnya menjadi wilayah Palili’ kerajaan Gowa.
Adapun legenda atau cerita turun temurun lainnya bahwa di Desa Sicini (Pusat Kristenisasi di Parigi) bahwa ada dua belas raja yang bersaudara yang diturunkan di Sicini yang paling Sulung tinggal di sini bergelar Karaeng Ejamata (raja yang bermata merah) dan kuburannya masih dapat disaksikan sampai sekarang di Sicini, adik kedua berlayar ke negeri Belanda dan menjadi nenek moyang bangsa Belanda, yang ketiga menuju negara Cina dan menjadi leluhur orang Cina, dan seterusnya sampai kesemua bangsa–bangsa di dunia ini. Suatu saat kedua belas bersaudara akan dibangkitkan kembali dan akan kembali untuk berkumpul dengan kakak sulungnya Karaeng Ejamata, pada saat itu di dunia ini terjadi perdamaian abadi tampa perang. Kuburan Karaeng Ejamata saat ini terletak di pekuburan umum Kampung Benteng Desa Sicini kecamatan Parigi Kabupaten Gowa. Sampai sekarang ini masih banyak penduduk dari Gowa bahkan dari Manipi (Sinjai), Bone dan Maros yang datang kekuburan ini untuk menziarahi serta membakar lilin dan dupa.
Bangsa Belanda masuk ke wilayah Sulawesi Selatan secara umum dan kabupaten Gowa secara khusus, Gowa sendiri di kuasai sepenuhnya pada tahun 1910. Belanda kemudian menempatkan pejabatnya yang berkebangsaan Belanda di Gowa dengan nama Controleur atau masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Tuang Petoro’ . Controleur ini berkedudukan di Sungguminasa. Gowa kemudian dibagi ke dalam 12 Distrik, salah satu Distriknya adalah Distrik Parigi.
Distrik Parigi, Borisallo, dan Pao tergabung ke dalam Aspirant Controleur yang dijabat oleh pejabat Belanda yang berkedudukan di Malino. Kepala Distrik Parigi pertama di jabat oleh I Rahing Daeng Ngalle dengan gelar Karaeng Parigi. Distrik Parigi meliputi enam kampung gabungan, yakni:
- Kampung Gabungan Jonjo yang dikepalai oleh Anrong Guru Jonjo;
- Kampung Gabungan Gantarang yang di kepalai oleh Karaeng Gantarang;
- Kampung Gabungan Buluttana yang di kepalai oleh Karaeng Buluttana;
- Kampung Gabungan Longka yang di kepalai oleh Karaeng Longka;
- Kampung Gabungan Manimbahoi yang di kepalai oleh Karaeng Manimbahoi;
- Kampung Gabungan Sironjong yang di kepalai oleh Karaeng Sironjong.
Setelah penyerahan kekuasaan ke Republik Indonesia, sistem pemerintahan di rombak dan di sesuaikan dengan sistem pemerintahan Undang-Undang Dasar 1945 dan terimplementasi secara konkrit kedalam peraturan-peraturan pemerintah lainnya. Dan pada tahun 1959, sesuai dengan UU no. 7 tahun 1960 tentang pembentukan Daerah tingkat I Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra), kemudian UU no. 13 tahun 1960 tentang pembentukan Daerah tingkat I Sulawesi Selatan dan Daerah tingkat I Sulawesi Tenggara. Maka pemerintahan Swapraja (Onder Afdeling) diubah menjadi Dati II Kabupaten serta Distrik diubah menjadi Kecamatan. Sebagai tindak lanjut dari UU no. 17 tahun 1960. oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1160 tahun 1961 tentang pembentukan Desa gaya baru. Sehubungan dengan itu Bupati kepala daerah tingkat II Gowa, dalam hal ini Bapak Andi Tau’
Mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 45/AU/1961 tanggal 18 Desember 1964 tentang pembentukan kecamatan di dalam wilayah Daerah tingkat II Gowa. Distrik Parigi, Pao dan Borisallo kemudian dilebur menjadi satu kecamatan yakni kecamatan Tinggimoncong yang beribukota di Kota Sejuk Malino.
Pada tahun 1990-an, dengan alasan mempermudah pelayanan kepada masyarakat, maka kecamatan Tinggimoncong dimekarkan dengan membentuk satu Kecamatan baru, bekas Distrik Pao yakni kecamatan Tombolo Pao. Pada tahun 2006 Kecamatan Tinggimoncong kembali melepaskan wilayahnya untuk berdiri sendiri yakni bekas wilayah distrik Parigi, dengan nama kecamatan baru tersebut adalah Kecamatan Parigi. Kecamatan Parigi terdiri dari lima desa, yakni Desa Majannang, Desa Bilangrengi, Desa Manimbahoi, Desa Jonjo dan Desa Sicini.
Keadaan Geografis
Keadaan Geografis menurut Folak adalah sebagai berikut: Keadaan geografis merupakan segala kondisi yang tersedia oleh alam bagi kepentingan manusia, khususnya bila memperhatikan kombinasi kondisi-kondisi lain. Demikian pula dengan keadaan geografisnya yang meliputi tanah dengan segala keadaan yang ada di dalamnya.
Menurut penafsiran tentang keadaan geografis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan geografis adalah segala sesuatu mengenai alam, keletakan dan semua yang berhubungan dengannya.
Wilayah Kabupaten Gowa terletak antara Utara 120.36,6’ Bujur Timur (BT) dan 50.33,6’ Bujur Timur. Letak wilayahnya antara 120.33,19’-130.15,17’ Bujur Timur. 50. 5’ – 50 . 34. 7’ Lintang Selatan .
Adapun batas-batas wilayahnya meliputi:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Makassar dan kabupaten Maros.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Takalar.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Takalar.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.
Luas keseluruhan daerah ini adalah 1.883,33 Km2 , yang terbagi kedalam 18 Kecamatan dan 158 Desa/Kelurahan, berikut Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gowa:
- Kecamatan Somba Opu
- Kecamatan Barombong
- Kecamatan Bontomarannu
- Kecamatan Palangga
- Kecamatan Parangloe
- Kecamatan Pattallassang
- Kecamatan Tombolo Pao
- Kecamatan Manuju
- Kecamatan Tompobulu
- Kecamatan Bontolempangan
- Kecamatan Biringbulu
- Kecamatan Tinggimoncong
- Kecamatan Bungaya
- Kecamatan Bajeng
- Kecamatan Bontonompo
- Kecamatan Bajeng Barat
- Kecamatan Bontonompo Selatan
- Kecamatan Parigi
Keadaan geografis Kabupaten Gowa secara umum terbagi kedalam dua zona dataran rendah dan zona dataran tinggi. Untuk curah hujan pada daerah ini setiap tahunnya mencapai 2000 – 3000 mm, dengan suhu zona dataran rendah 220 - 260 dan suhu udara zona dataran tinggi 180 - 210. Pembagian musim didaerah ini hampir sama dengan daerah tropis pada umumnya, yakni: Wattu Bara’ (musim penghujan) dimulai pada bulan Oktober sampai bulan April, dan Wattu Timoro’ (musim kemarau) di mulai pada bulan April sampai bulan Oktober.
Kecamatan Parigi selaku wilayah penelitian secara geografis terletak pada zona dataran tinggi. Adapun batas-batas wilayahnya adalah disebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tinggimoncong, Kecamatan Manuju dan Kecamatan Parangloe; sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tinggimoncong; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bontolempangan dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bungaya dan Kecamatan Manuju.
Luas wilayah Kecamatan Parigi adalah 132,76 km2. dengan jarak tempuh via Kota Malino ( Kecamatan Tinggimoncong) adalah 89 KM ke Ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa dan 97 KM ke ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Sedangkan jarak tempuh via Sapaya (Kecamatan Bungaya) adalah 80 KM Ke ibukota Kabupaten Gowa, Sungguminasa dan 88 KM ke ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Wilayah ini berada diatas ketinggian 600-900 diatas permukaan laut (DPL). Wilayah kecamatan Parigi terbagi kedalam lima wilayah pemerintahan Desa yakni, Desa Majannang sebagai Ibukota Kecamatan Parigi, kemudian berturut-turut Desa Manimbahoi, Desa Bilangrengi, Desa Jonjo serta Desa Sicini.
Keadaan alam di wilayah ini terdiri dari bentang alam pegunungan yang berpusat kepada gunung Bawakaraeng diselingi dengan ngarai-ngarai yang didasarnya mengalir sungai Jeneberang dan Sungai Kunisi’ di sebelah Selatan dan Sungai Liangpimbali di sebelah Utara Parigi. Keadaan alam inilah yang sedikit banyak mempengaruhi karakteristik masyarakatnya baik dari segi ekonomi, maupun segi kebudayaan.
Keadaan Demografis
Penduduk kabupaten Gowa secara umum yang dimaksudkan adalah semua individu yang berdomisili di wilayah tersebut selama jangka waktu tertentu – minimal 6 bulan berturut-berturut – dan tercatat sebagai penduduk wilayah tersebut. Penduduk atau masyarakat menurut Koentjaraningrat dalam bukunya pengantar Antropologi dengan definisi sebagai berikut: “Masyarakat itu adalah kesatuan hidup dari mahluk-mahluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat tertentu”.
Penduduk di wilayah Kabupaten Gowa secara umum, dan di Parigi secara khusus adalah keseluruhan penduduk atau masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut berturut-turut selama 6 bulan dan melaksanakan kewajiban serta menerima haknya baik secara hukum formal maupun hokum adat pada wilayah tersebut.
Penduduk adalah titik sentral pada faktor produksi lainnya, sehingga diperlukan perbaikan kehidupan penduduk dari berbagai aspek, diantaranya pengembangan kualitas dan kuantitas penduduk dengan perbaikan tingkat pendidikan serta penekanan ledakan jumlah penduduk dengan program KB (keluarga berencana) Mandiri serta penurunan angka kematian ibu dan anak. Penempatan penduduk secara merata serta jumlah penduduk diusahakan untuk dibina , diterampilkan agar bisa berproduksi yang tentunya dengan sendirinya akan menghasilkan kesejahteraan pembangunan.
Keterangan-keterangan sebelumnya menggambarkan bagaimana pentingnya penduduk dalam pembangunan suatu daerah, bangsa dan negara. Bagaimana kondisi nyata kependudukan di wilayah kabupaten Gowa secara umum dan Kecamatan Parigi Secara khusus.
Kondisi Sosial, Budaya dan Ekonomi
Kondisi Sosial
Sistem Kekerabatan
Kerabat adalah hubungan dua orang atau lebih dari suatu individu yang terjalin secara intim sehingga membentuk suatu kelompok primer, dan dimana para anggotanya mengidentifikasi diri dalam bentuk ke-kami-an. Sistem kekerabatan di kabupaten Gowa pada umumnya dan Parigi khususnya hampir sama dengan sistem kekerabatan yang berlaku di Sulawesi Selatan pada umumnya. Dalam keluarga dikenal istilah Bija Pammanakang yaitu hubungan kekerabatan melalui hubungan darah dan Bija Pa’saribattangang yaitu hubungan kekerabatan karena salah satu keluarganya kawin dengan individu tersebut.
Dalam satu Pammanakang Balla (keluarga inti) terdiri dari Mangge (ayah), Amma’ (ibu) dan anak. Masyarakat di wilayah ini masih menganut sistem patrilineal (laki-laki lebih superior daripada perempuan), hal ini dapat dibuktikan dalam sistem pembagian mana’(harta warisan), dimana diistilahkan dengan “Buranne a’lembara’ na bainea ajujunji” (laki-laki mempunyai dua bagian sedangkan perempuan hanya satu bagian) .
Dalam hal memilih jodoh sama seperti umumnya di Sulawesi Selatan , namun ada satu yang khas di wilayah ini mengenal silariang (kawin lari). Silariang dari sejak dahulu kala sangat di “anti” oleh masyarakat pada rumpun Sulawesi Selatan. Silariang menurut Syam. adalah : Silariang adalah perkawinan yang dilakukan antara sepasan laki-laki dan perempuan setelah sepakat lari bersama, perkawinan mana yang menimbulkan siri’ bagi keluarganya khususnya bagi keluarga perempuan dan kepadanya dikenakan sanksi adat.
Namun kenyataannya di wilayah Parigi, perkawinan silariang sudah dianggap lumrah. Di wilayah ini sekitar sepertiga dari keseluruhan perkawinan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini adalah perkawinan silariang.
Sistem Pelapisan Sosial
Sistem pelapisan sosial yang berlaku di wilayah ini meskipun sudah mulai bergeser. Individu yang berasal dari keluarga bangsawan disebut Karaeng, untuk golongan Tumaradeka dibagi dua yakni golongan Uwa’ dan golongan Daeng. Golongan Uwa’ adalah golongan Tumaradeka yang lebih tinggi derajatnya satu tingkat daripada golongan Daeng. Sebagian yang menjabat kepala desa di wilayah Parigi adalah dari golongan Karaeng, namun pergeseran sistem pelapisan sosial ini sudah mulai nampak. Karena masyarakat di Parigi sudah lebih menghormati seseorang yang sudah mengecap pendidikan formal yang tinggi dibanding dengan seseorang yang bergelar karaeng namun kerjanya hanya berjudi dan minum ballo (tuak).
Kebudayaan dan Kepercayaan
Menurut Koentjaraningrat, unsur kebudayaan terbagi kedalam tujuh, yakni:Pengetahuan; Mata pencaharian; Bahasa; Sistem perlengkapan hidup; Sistem sosial; Religi; Kesenian.
Pengetahuan yang ada di Parigi antara lain pengetahuan tentang astronomi tradisional, yakni tentang perhitungan hari-hari baik dan buruk dalam memulai sesuatu pekerjaan atau apa saja yang dianggap penting bagi kehidupan seseorang, perhitungan ini mengikuti sistem pergerakan bulan (tarikh Qamariah). Hari-hari yang dihindari adalah Nakasa’ Pattaungang, Nakasa Pa’lappassang, Allo Sibokoi, Pasara’ Soppeng, Kala’busang Rabai dan Cobbi Mate.
Nakasa’ Pattaungang adalah hari yang dianggap buruk, bila hari itu bertepatan dengan hari dimana jatuhnya tanggal 1 Muharram, misalnya pada hari Minggu hari jatuhnya penanggalan 1 Muharram, maka setiap hari Minggu dalam satu tahun dianggap kurang baik. Nakasa’ Pa’lappassang adalah hari yang dianggap buruk, bila hari itu bertepatan dengan hari dimana jatuhnya tanggal 1 Syawal (idul fitri). Allo Sibokoi adalah hari yang dianggap buruk pada pekan pertama setiap bulan berjalan. Pasara’ Soppeng adalah hari yang dianggap buruk bila setiap penanggalan jatuh pada hari Jum’at. Kalabbusang Rabai hari yang dianggap buruk pada setiap hari Rabu yang jatuh pada pecan terakhir dari bulan yang sedang berjalan serta Cobbi Mate adalah hari yang dianggap buruk pada adalah pada setiap tanggal terakhir pada bulan berjalan atau setiap tanggal 29 atau 30.
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi antar individu dengan individu lainnya. Menurut Mas. mengatakan: “….. kelompok bahasa Makassar terdiri dari lima dialek yakni masing-masing bahasa Makassar dialek Lakiung, bahasa Makassar dialek Turatea, bahasa Makassar dialek Bantaeng, bahasa Makassar dialek Konjo dan bahasa Makassar dialek Selayar…..”.
Bahasa Makassar yang dipakai di Parigi adalah bahasa Makassar perpaduan antara dialek Turatea dan dialek Konjo yang melahirkan dialek khas Parigi (Gowa Timur Pedalaman).
Sistem perlengkapan hidup yang dipakai di Parigi pada umumnya hampir sama dengan sistem yang berlaku di Sulawesi Selatan pada umumnya. Sedangkan sistem sosial sudah dijelaskan pada pembahasan sebelunya, dimana pada intinya sistem sosial di Parigi masih dipakai meskipun orientasinya sudah mulai bergeser kearah kemajuan.
Agama atau religi masyarakat di Parigi mayoritas beragama Islam, baik Islam taat maupun yang masih menganut Islam Nominal (Islam So’sorang), dengan perpaduan Agama nenek moyang yakni agama Patuntung serta ada sebagian kecil yang menganut Kristen sebagai kepercayaan religius mereka. Sedangkan kesenian yang ada di Parigi kurang menonjol, kesenian-kesenian yang tumbuh dan berkembang adalah kesenian saduran dari daerah lain yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya.
Kondisi Ekonomi
Keadaan perekonomian di kecamatan Parigi masih bersifat agraris, yakni segala kehidupan perekonomian masyarakat masih menggantungkan diri kepada alam. Dimana sekitar 90% masyarakatnya masih berprofesi pada bidang agraris yakni sebagai petani dan pekebun.
Penghasilan pokok masyarakat kecamatan Parigi adalah beras dan kopi. Pajama bara’ (petani) mengolah persawahannya masih banyak menggunakan Pajjeko (bajak) yang ditarik oleh dua ekor sapi dan sudah ada sebagian kecil petani sudah menggunakan traktor tangan. Keadaan persawahan di wilayah ini mengikuti tekstrur keadan geografis, bentuk persawahan di wilayah ini berbentuk senkedan (bertingkat-tingkat). Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai tugas masing-masing dalam mengolah persawahan, bahkan perempuanlah yang besar peranannya dalam kegiatan ini. Sekitar bulan Desember, seiring dengan intensitas hujan yang sudah meningkat. Pada saat itu pajama bara’ dalam hal ini pihak laki-laki membajak sawah dan anjama biring (membersihkan pematang). Setelah sawah siap ditanami, maka pihak perempuanlah yang mulai mengerjakan sawah, mulai dari a’jiji (menyebarkan benih) setelah padi tumbuh dan berumur sekitar 15 hari, maka dilakukan kegiatan a’palette jiji (memidahkan benih), semua kegiatan dilakukan dengan akkusiang (gotong royong). Berturut-turut kemudian padi dipupuk, disiangi sampai di kai’ (potong padi) semua kegiatan itu dilakukan oleh perempuan, laki-laki tidak bisa mengerjakan tersebut, sebab bila mengerjakan pekerjaan tersebu maka dia dikatan sebagai kampidokang (mengerjakan pekerjaan perempuan) seperti yang dikatakan oleh Dg. Nia.
Selain padi, penghasilan masyarakat kecamatan Parigi adalah kopi, sukun, kakao dan petai. Untuk komoditas kopi adalah penghasilan utama setelah padi/beras. Ada dua jenis kopi yang dibudidayakan yakni kopi romang (robusta) dan kopi liba (arabika). Untuk kopi romang ini sudah puluhan tahun dibudidayakan, bahkan kopi ini sudah masuk ke Parigi dibawa oleh bangsa kolonial Belanda, untuk jenis kopi liba baru dibudidayakan.
Kegiatan perekonomian masyarakat lainnya adalah ke Makassar untuk bekerja sebagai tukang kayu atau pembuat kuseng bagi yang laki-laki. Untuk yang perempuan adalah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) pada orang-orang Cina atau orang-orang kaya lainnya, rata-rata para PRT ini berumur antara 12 sampai 25 tahun, pekerjaan yang terakhir inilah yang sedikit banyak menghambat pendidikan di Parigi, sebab para orang tua berpendapat buat apa menyekolahkan anak, padahal tampa sekolah pun mereka dapat pekerjaan. Padahal pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga sangat beresiko, sudah banyak kasus mereka di jual dan dijadikan sebagai perempuan pemuas nafsu atau pelecahan terhadap majikan. Pekerjaan lainnya yang banyak di minati oleh masyarakat Parigi adalah bekerja di negeri Jiran Malaysia sebagai TKI/TKW pada perkebunan kelapa sawit, baik legal maupun illegal.
Untuk data penduduk yang masih berada pada taraf Pra sejahtera tercatat Sekitar 598 Kk dari Keseluruhan Jumlah 2.998 Kk atau sekitar 19,95 %. pemerintah dalam hal ini sebagai penanggung jawab kesejahteran rakyat telah mengeluarkan beberapa solusi untuk mensejahterkan rakyat, diantaranya mengeluarkan beberapa program, diantaranya Pemberian Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) hasil subsidi BBM kepada masyarakat yang pra-sejahtera sejumlah Rp. 100.000,-/bulan selama 1 tahun, pembagian RASKIN (beras miskin) yang hanya dibeli oleh masyarakat pra sejahtera seharga Rp. 1000,-/Kg serta pengobatan gratis bagi keluarga pra-sejahtera dengan program Askes Keluarga Miskin (Gakin). Dan hal yang menggembirakan adalah program penuntasan WAJAR 9 Tahun, dengan pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS), mengratiskan pendidikan SD/Sederajat dan SMP/Sederajat serta pemberantasan buta Aksara Latin dengan Program SPAS (Sanggar Pendidikan Anak Saleh). Program pemerintah ini sebagian besar sudah terealisasi dilapangan dan dinikmati oleh masyarakat Gowa pada umumnya. Sebelumnya: Bagian 1, Selanjutnya: Bagian 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar