Dalam sejarah negeri ini, dua kali negara mencabut hak berkarya sekelompok besar pengarang sekaligus. Yang pertama ditujukan kepada para penandatangan Manifes Kebudayaan, sedang yang kedua kepada para sastrawan Lekra dan yang dianggap sastrawan Lekra.
Pada 8 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan yang isinya melarang Manifes Kebudayaan:
Kami, Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi keutuhan dan kelurusan jalannya revolusi, dan demi kesempurnaan ketahanan bangsa, apa yang disebut Manifesto Kebudayaan yang disingkat menjadi Manikebu dilarang.
Sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran telah menjadi garis besar haluan negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan memberikan kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya revolusi maka segala usaha kita jalankan di atas rel revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan indoktrinasi lain-lainnya. (Sumber: Antara, 10 Mei 1964)
Sejak keluarnya pernyataan itu, 20 sastrawan penandatangan Manifes Kebudayaan mengalami kesulitan dalam mempublikasi dan mengedarkan karya-karya mereka. Majalah Sastra yang merupakan penampung utama karya-karya mereka berhenti terbit karena kesulitan manajemen dan keuangan setelah pelarangan. Penerbitan lain, kecuali majalah Basis, menolak mempublikasi karya-karya mereka, atau menerima asal nama penulisnya tidak dicantumkan. Pada April 1965 ’Pimpinan Departemen PD dan K’ melarang karya-karya pendukung Manifes Kebudayaan digunakan sebagai bahan ajar. Keputusan itu baru dicabut oleh Deputi Menteri Pendidikan Dasar pada Juni 1966.
Pelarangan karya para pengarang Lekra
Dalam rangka operasi pembasmian Gerakan 30 September 1965 salah satu target serangan militer adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Para anggota organisasi kebudayaan ini menjadi korban penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembunuhan kilat dan penghilangan paksa, penyiksaan, kerja paksa dan pembuangan, dan berbagai tindak kekerasan lain.
Pada 12 Maret 1966, Soeharto mengumumkan pelarangan dan pembubaran Lekra serta organisasi-organisasi kiri lainnya. Namun sebelum itu, pada 30 Desember 1965, Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf.) Drs. Setiadi Kartohadikusumo, atas nama Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD & K), mengeluarkan instruksi yang melarang penggunaan 70 judul karya para sastrawan Lekra sebagai bahan ajar, serta melarang 87 nama yang dikategorikan sastrawan Lekra dan kolumnis majalah/surat kabar kiri untuk berkarya. Instruksi itu tidak pernah dicabut hingga saat ini.
Sebagian di antara para pengarang terlarang yang namanya tercantum dalam daftar PD & K, juga para pengarang Lekra lain yang namanya lupa dicantumkan Setiadi tapi tetap mengalami pemberangusan, akhirnya harus berganti nama atau hidup di pengasingan agar dapat tetap berkarya. Baru setelah kejatuhan Soeharto dan gerakan Reformasi berhasil merebut kembali tiga kebebasan dasar, karya-karya mereka bermunculan kembali.(SUMBER:WWW.SEJARAHSOSIAL.OR)
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pramoedya Ananta Toer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar