Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Latemmu Page Petta Parenring Arung Labuaja



Lapawawoi Karaeng Sigeri Raja Bone ke-31 bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Walaupun Belanda menyerang dengan persenjataan lengkap dengan tentara terlatih, akan tetapi Lapawawoi Karaeng Sigeri tidak menjadi gentar. Dengan jiwa kesatria yang membara, ia menghadapi serangan Belanda di berbagai tempat.
Pendaratan tentara Belanda di pantai Timur Kerajaan Bone di kawasan laut Teluk Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), Lapawawoi Karaeng Sigeri menyatakan perang diseluruh wilayah kerajaan Bone terhadap kompeni Belanda. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Di bawah pimpinan Panglima operasinya Kolonel Van der Wedden, Belanda melakukan serangan sporadis ke kubu-kubu pertahanan Laskar Kerajaan Bone. Walaupun mendapat perlawanan yang cukup sengit dari Laskar kerajaan Bone, akan tetapi persenjataan Tentara Belanda yang lengkap akhirnya tentara Belanda berhasil memukul mundur Laskar kerajaan Bone yang dipimpin oleh Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae dan Seluruh keluarganya. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Selama Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November ) Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae beberapa kali memindahkan pusat pertahanannya. Hal ini dilakukan agar segenap Laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat senantiasa dapat melakukan kontak dengannya. Adapun pusat-pusat pertahanan Laskara Kerajaan Bone pada waktu itu anatara lain : Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng. Pusat pertahanan yang terakhir yang merupakan tempat gugurnya Petta PonggawaE adalah Bulu Awo di perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja.
Dalam kondisi yang tidak menentu, menyusul kejaran Serdadu Belanda juga semakin gencar, maka kedua petinggi kerajaan Bone merubah taktik perangnya dari perlawanan frontal menjadi perang gerilya. Hal ini dilakukan karena semakin sulitnya mengkoodinir laskar-laskar Kerajaan Bone yang terpencar di berbagai tempat. Terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Petta Parenring Arung Labuaja. Namun kian hari stamina lasykar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda menguber pusat-pusat pertahannya.
Latemmu Page Petta Parenring arung Labuaja kemudian berpindah-pindah tempat. Arung Labuaja kemudian ke Daerah Sinjai. Latemmu Page Petta Parenring Arung Labuaja, merupakan panglima perang legendaris, beliau berwatak jujur dan menentang pemakaian candu. Beliau pernah mengungkapkan ketidak-senangannya pada kebiasaan menggunakan candu di kalangan bangsawan Kerajaan Bone (dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan). Menurutnya kebiasaan itu sangat melemahkan. Candu dalam kurun waktu itu umumnya dikonsumsi dengan cara menghisap. Alat penghisap candu itu masih dikoleksi sejumlah orang di Makassar hingga hari ini. Salah satu keturunan Latemmu Page Petta Parenring Arung labuaja yang menjadi tokoh publik sekarang ini adalah Andi Alfian Mallarangang, Rizal Mallarangang dan Syafrie Syamsuddin.
Dalam perang gerilya ini Arung Labuaja kemudian menyembunyikan identitasnya untuk mengelabui Belanda (membuang gelar kebangsawanannya), di Sinjai beliau lebih dikenal dikenal dengan nama Petta Tuang. Salah satu anak Arung Labuaja yang menetap di Sinjai adalah Petta Sattuang. Keturunan Petta Sattuang sekarang mendiami salah Satu desa yang bernama desa Barania kecamatan Sinjai Barat kabupaten Sinjai. (dari berbagai sumber)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar