Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Cina Makassar (Suatu Tinjauan Sejarah)



Orang-orang Tionghoa datang ke Makasar dan sekitarnya pada masa Dinasti Tang, abad ke-15. Mereka datang secara bertahap, mereka semula hanya datang untuk berdagang, namun lama-kelamaan mereka mulai bermukim terutama di pesisir-pesisir pantai. Mereka mulai bermukim di Makassar pada masa pemerintahan kerajaan Gowa.
Pada umumnya orang Tionghoa di Makassar berasal dari Propinsi Fulien dan Quan Dong. Kedua Propinsi ini mempunyai kekhasan wilayah yang besar dan beda dengan Propinsi-propinsi lainnya di Tiongkok. Para pendatang ini datang ke Makassar dengan membawa tradisi dan ciri khasnya dari kampung asalnya.
Yang membedakan budaya golongan sub etnis ini adalah ciri bahasanya. Ada empat rumpun bangsa Tionghoa terbesar di Makassar, yakni Hokkian, Hakka, Kanton dan ???. satu dengan yang lainnya dari ke-4 (empat) bahasa ini tidak saling mengerti arti bahasa mereka. Karena bahasa-bahasa itu saling berbeda baik struktur katanya maupun lafal fonemiknya. Orang-orang Tionghoa ini masih fasih berbicara dalam bahasa Tionghoa dan berkumpul sesuai dengan bahasa masing-masing dan kebudayaan masih berorientasi ke Tiongkok
Etnis Tionghoa totok mmempelajari bahasa Makassar untik percakapan sehari-hari, karena mereka harus hidup dan mencari nafkah diantara orang-orang bukan Tionghoa. Tetapi orang-orang dari Etnis Tionghoa totok tidak terlalu fasih bahasa Makassar-nya. Beda dengan orang-orang Tionghoa peranakan, mereka sangat fasih berbahasa Makassar, bahkan menggunakan bahasa Makassar sebagai bahasa ibunya serta mengadopsi budaya setempat.
Etnis Hok Kian adalah etnis Tionghoa pertama yang bermukim di Wilayah Makassar dalam jumlah yang besar sampai abad ke-19. Mereka berasal dari Tsiang Tsu, Tsoan Tsiu dsb. Fuk Khien Selatan adalah daerah yang sangat penting di Republik Rakyat Tiongkok pada bidang pertumbuhan perdagangan luar negeri sejak abad ke-10 sampai 19. Etnis Hakka, Kanton dan ?? kemudian menyusul ke Makassar dan sekitarnya.
Walaupun orang-orang Tionghoa yang ada di Makassar terdiri dari beberapa daerah dan etnis berlainan. Tetapi mereka yang berada di Makassar dikenal atau dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yakni orang Tionghoa totok dan orang Tionghoa Perananakan. Tionghoa totok datang belakangan setelah orang Tionghoa peranakan, mereka datang ke Makassar belakangan.
Perantau-perantau yang datang ke Asia Tenggara pada umumnya dan di Makassar pada khususnya dilandasi oleh berbagai faktor, yang secara garis besar dapat digolongkan kedalam dua golongan besar, yakni faktor ekonomi dan faktor politik. Faktor ekonomi yang dimaksud, bahwa negeri Tiongkok pada masa Dinasti Ming (1368-1644), jumlah penduduknya meledak, sesangkan lahan-lahan pertanian tidak lagi bisa menjamin kelangsungan hidup penduduknya. Kesulitan ini diperparah oleh tuan-tuan tanah yang menaikkan sewa tanah yang tinggi sehingga penghidupan para petani semakin sulit, menyebabkan mereka memudahkan migrasi.
Faktor yang kedua adalah faktor politik, faktor ini karena dibukanya kembali perdagangan Tiongkok dengan Asia Tenggara termasuk Makassar sebagai akibat dari keberhasilan peperangan yang dilancarkan oleh pasukan Ching diFormosa. Keberhasilan peperangan ini telah menciftakan keadaan yang menguntungkan bagi peningkatan pengaliran imigran-imigran. Dibagian selatan daratan Tiongkok, terutama orang-orang dari etnis Hokkian yang berasal dari daerah yang terletak di sekitar Fujian dan Quan Dong. Olehnya itu tidak mengherankan kalau imigran-imigran Tionghoa yang datang ke Asia Tenggara, khususnya di Makassar adalah sebagian besar orang-orang dari etnis Hokkian. Mereka kebnyakan berprofesi sebagai pedagang dan orang-orang yang menguasai perdagangan.
Sejak kedatangan mereka, pada mulanya orang-orang Tionghoa di Makassar. Mereka hidup rukun dengan orang-orang pribumi Makassar-Bugis. Namun setelah malapetaka G30S pada tahun 1965 terjadi, maka kenangan kerukunan dan kedamaian menjadi sirna ditelan nafsu angkara manusia. Mereka seakan kembali dari zaman kegelapan, mereka menggunakan lagi prinsip jaman jahiliah sikanre jukuki tauwwa (manusia bagaikan binatang yang saling memangsa), seperti yang pernah terjadi di kerajaan-kerajaan lokal Sulawesi Selatan sebelum kedatangan sang Ratu Adil Tumanurung Bainea ri Takabassia.
Orang-orang dari etnis Tionghoa diganyang, dilempari, dibunuh, diteror, dibakar dan diperkosa, karena hal-hal yang bersifat sepele. Pada tahun 1965, orang-orang dari etnis Tionghoa diganyang karena kampanye-kampaye sadis pemerintahan Orde Baru yang memberika statement bahwa orang-orang Tionghoa itu identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak saat itu pemerintah melegalkan suatu budaya amuk atau pengganyangan serta megeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak etnis Tionghoa.
Letupan kedua terjadi pada tahun 1980. Etnis Tionghoa kembali di ganyang, disebabkan karena seorang Laki-laki yang kebetulan berasal dari etnis Tionghoa menghamili Pembantunya, seorang gadis dari Toraja, gadis ini kemudian meminta pertanggung jawaban dari tuannya, ia ingin dinikahi. Tapi tuannya ini salah satu pemilik tokoh LA, toko yang terbesar di Makassar waktu itu, malah membunuh dengan sadis pembantunya tersebut. Akibatnya warga pribumi mengamuk mengganyang etnis Tionghoa, ribuan bangunan ludes dilalap api, ratusan kendaraan bermotor pun demikian dan puluhan nyawa melayang.
Letupan ketiga terjadi pada tahun 1997, pada penghujung Orde Baru, orang-orang dari Etnis Tionghoa kembali diganyang, penyebabnya karena seorang yang kelainan jiwa yang kebetulan beretnis Tionghoa, dengan kalap menebas seorang anak kecil yang berumur 9 tahun sampai mati. Kebetulan yang dibunuh ini adalah anak dari staf IAIN Alauddin (sekarang UIN Alauddin). Akibatnya Makassar kembali lumpuh dan menelan banyak korban. Itulah ketiga letupan besar yang pernah terjadi dan masih banyak lagi letupan-letupan kecil yang pernah terjadi.
Alasan kenapa studi ini mengambil daerah Makassar sebagai daerah yang akan diteliti dalam topik kerusuhan yang bernuansa etnis ini, dengan alasan bahwa di wilayah ini seringkali terjadi konflik antar etnis yang disebabkan oleh hal-hal sepele, seperti kata pepatah setitik tuba masuk, sebelanga susu menjadi rusak, hanya satu orang dari etnis Tionghoa yang meakukan pelanggaran tindakan criminal, namun seluruh etnis Tionghoa merasakan akibatnya, dan ada satu kecenderungan bahwa awal konflik ini seakan “direstui” oleh penguasa pada masa lalu. Disini penulis akan mencoba mengungkap akar permasalahan konflik dan sejauh mana pembauran antar etnis Tionghoa dan etnis pribumi. Disamping itu lewat studi ini akan diungkap sejauh mana andil etnis Tionghoa dalam terbentuknya Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara umum dan Makassar secara Khusus. Dan satu hal yang terpenting disini akan coba diungkap pula bagaimana dan apa solusinya agar konflik yang bernuansa etnis ini tidak akan terjadi lagi mulai hari dan selanjutnya, karena alangkah bar-barian-nya kita sebagai mahluk yang beradab, bila akan jatuh kedalam lubang yang sama atau konflik akan terulang kembali.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar