Di tengah menyambut detik-detik peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65 tahun Indonesia diuji lagi. Tiga orang pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Batam ditangkap oleh petugas bersenjata Malaysia, di wilayah kedaulatan RI sendiri. Ketiga pengawas perikanan ini tengah menggiring lima kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Lantas ditangkap oleh Polisi Diraja Malaysia (Kompas, Senin, 16/8/2010).
Ironis memang. Di tengah rakyat Indonesia sedang merayakan kemerdekaan negaranya, di tengah hiruk pikuk berkibarnya sang saka merah putih di seantero wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, serta digelorakannya lagu kemerdakaan.
Tapi disisi lain, kemerdekaan itu seakan tiada berarti, khususnya di perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Polisi Diraja Malaysia dengan bebas menembaki serta menangkapi tiga orang pegawai negeri DKP Republik Indonesia, yang notabenenya merupakan simbol negara, karena yang ditangkap adalah orang-orang berstatus pegawai pemerintah.
Jauh sebelumnya kedaulatan NKRI dicoreng, dengan sangat terpaksa dan diiringi tangisan Ibu Pertiwi, Pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan kepada Malaysia lewat ketukan palu para hakim Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002. Kalau kita melihat sejarah konflik Indonesia-Malaysia, maka kita dapat menarik kesimpulan dimana kedua negara ini bagaikan Tom dengan Jerry, dalam salah satu serial kartun.
Mereka senantiasa terlibat konflik sepanjang sejarah. Bahkan konflik antara Indonesia dan Malaysia dimulai ketika negara Malaysia baru saja dilahirkan sebagai negara berdaulat namun tetap berada di dalam persatuan persemakmuran Inggris.
Kronologis Konflik
Konfederasi Malaysia diwujudkan pada tanggal 16 September 1964, dimana dalam komfederasi ini bergabung Malaya, Singapura, Sabah, dan Serawak. (Singapura kemudian melepaskan diri dari Konfederasi pada tahun 1965). Indonesia dan Filipina sebenarnya merestui berdirinya Konfederasi Malaysia tersebut, bila ada semacam referendum dari rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak.
Usul dari Indonesia ini diprotes oleh pendukung-pendukung Konfederasi Malaysia dengan melakukan demonstrasi ke KBRI di Kualalumpur. Para demonstran anti-Indonesia ini merobek-robek foto Presiden Soekarno dan membawa gambar Garuda Pancasila ke hadapan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, agar dia menginjak-nginjak Garuda Pancasila.
Sejak saat itu amarah Soekarno mulai tak terbendung kepada Malaysia. Dalam sebuah pidatonya yang terkenal, dikatan bahwa: "Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu itu juga biasa. Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysia keparat itu. Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat. Yoo...ayoo... kita... Ganjang. Ganjang... Malaysia. Ganjang... Malaysia. Bulatkan tekad. Semangat kita badja. Peluru kita banjak. Njawa kita banjak. Bila perlu satoe-satoe!
Dan sebagai langkah nyata permusuhan pemerintah Republik Indonesia dengan Malaysia, pada tanggal 20 Januari 1963 Meneri Luar negeri RI, Soebandrio mengumumkan permusuhan RI kepada Malaysia. Pada tanggal 12 April 1963, disusupkan sukarelawan-sukarelawan semi-militer Indonesia ke wilayah Malaysia. Pada tanggal 3 Mei 1963 Presiden Soekarno mengadakan rapat umum dan mengeluarkan dua statement yang lebih dikenal dengan sebutan Dwikora.
Isi dari Dwikora tersebut: 1. Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia; 2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.
Pada masa pemerintahan Gusdur, posisi Indonesia dalam organisasi regional ASEAN mulai dianggap tidak ada artinya. Tidak cukup dengan menguasai ASEAN, Malaysia mulai menyerang Indonesia dengan isu TKI ilegal Indonesia yang merugikan Indonesia. Kenyataannya banyak TKI kita yang entah itu legal ataupun ilegal ditangkapi dan disiksa di luar batas prikemanusian di Malaysia. Puncak dari penghinaan Malaysia kepada Indonesia adalah di caploknya Pulau Sipadan dan Ligitan lewat kekuasaan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tanggal 17 Desember 2002 dimasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Lain lagi kasus Ambalat yang sampai sekarang masih diincar oleh Malaysia dan sewaktu-waktu dapat dicaplok menjadi wilayahnya. Ditambah dengan klaim-klaim sepihak Malaysia tentang batik, reog ponorogo, tari pendet, alat musik angklung, dan lagu-lagu rasa sayange.
Situs jejaring sosial Facebook yang sedang ngetrend sekarang ini juga diramaikan dengan perang kata-kata antara kedua negara, dimana masing-masing membuat group, dan anggotanya saling menyerang dengan kata-kata yang kadang kata-kata itu melenceng dari adat ketimuran kita sebagai bangsa yang beradab. Sekarang yang lagi hangat-hangatnya adalah penangkapan tiga PNS Dinas Kelautan dan Perikanan Batam oleh Polisi Diraja Malaysia.
Satu Meja
Terlepas dari konflik-konflik Indonesia-Malaysia yang kadang keblinger, maka alangkah baiknya bila pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia duduk satu meja dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi antara kedua negara, terutama kejelasan garis batas antara dua negara. Masalah itu diselesaikan dengan seterang-terangnya. Jangan seperti sekarang ini masing masing saling mengklaim bahwa sampai di sini wilayah kedaulatanku, dan yang satu juga mengklaim bahwa wilayah ini masuk wilayah kedaulatanku.
Seperti yang dikatakan oleh pihak Kementrian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin oleh Fadel Muhammad, janganlah terpancing oleh kasus penangkapan tiga PNS DKP Batam. Yang terpenting adalah penyelamatan ketiga orang ini dengan cara diplomasi (Fajar edisi 16/8/2010). Karena tidak tertutup kemungkinan, bahwa konflik-konflik antara Indonesia-Malaysia sekarang ini sengaja disetting oleh pihak ketiga. Yang ingin melihat negara Indonesia dan Malaysia jatuh ke dalam jurang peperangan. Dan patut dicatat apa yang dikatakan oleh matan Wakil Presiden kita Muhammad Jusuf Kalla jangan sampai kita menggunakan emosi sesaat dan lantas menarik kedubes kita dari Malaysia. Perseolan itu masih bisa diselesaikan dengan cara diplomasi (Fajar edisi 16/8/2010).
Kalaupun diplomasi itu gagal, apa boleh buat dengan jalan kekerasan pun akan diterima oleh bangsa Indonesia, bukankah kita ini negara berdaulat dan punya kedaulatan untuk menyatakan perang dengan negara mana saja yang terbukti melecehkan kedaulatan kita. Tapi sekali lagi penyelesaian dengan peperangan itu jalan paling terakhir.
Akhirnya semoga ditengah hiruk-pikuknya negara kita dalam menyambut dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65 tahun marilah kita semua sebagai anak bangsa mendoakan bumi Indonesia ini, tanah tumpah darah kita semua negara kesatuan republik Indonesia, agar selalu tegar dalam menghadapi peliknya tantangan-tantangan, sekali merdeka tetap merdeka.***
(Dimuat di Harian Tribun Tumur Edisi Kamis19 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar