“Senin, demo besar-besaran guru dan tenaga kesehatan. Kumpul di Masjid Al-Markaz. Mari kita ramaikan demo untuk memperjuangkan hak kita yang telah disalah gunakan”. Demikian isi ajakan demonstrasi yang masuk di HP saya via SMS. Saya teringat kembali waktu mahasiswa dulu, yang sarat dengan demo-demo, apapun kebijakan pemerintah disambut demonstrasi yang kadang mengganggu ketertiban masyarakat. Bagaimana tidak mengganggu?, karena kita yang katanya memperjuangkan nasib rakyat disatu sisi, kenyataanya mengabaikan hak-hak rakyat disisi lain, yakni merintangi perjalanannya mereka dengan memblokir jalanan umum serta membakar ban bekas yang membuat polusi yang membuat mata perih, apalagi kadang demostrasi tersebut berujung anarkis dengan merusak atau membakar fasilita-fasilitas umum.
Maka tidak berlebihanlah apa yang dikatakan mantan Wakil Presiden RI, H.M. Jusuf Kalla beberapa waktu lalu, bahwa mahasiswa Makassar itu primif, yang selalu demonstrasi disana sini, meskipun istilah primitif yang dikatakan beliau ini masih perlu dipertanyakan maknanya, apakah primitif dalam arti sesungguhnya atau primitif dalam tanda kutip?.
Kembali ke masalah demonstrasi guru-guru dan tenaga kesehatan di Kabupaten Maros. Mereka ini sejatinya adalah abdi negara dan abdi masyarakat yang diikat dalam koridor atau kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan wakil rakyat (DPR). Koridor dan kaidah-kaidah hukum ini senantiasa digaungkan para Widyaswara kepada Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada setiap ritual Prajabatan (pendidikan/pelatihan wajib setiap CPNS sebelum memangku atau memulai tugasnya sebagai Abdi Negara dan Abdi masyarakat).
Dalam berbagai regulasi, jelas bahwa PNS itu tidak boleh berpolitik praktis lebih-lebih melakukan aksi Demostrasi untuk menuntut haknya atau agar keinginannya tercapai. Dalam hal ini demonstrasi yang dilakukan para PNS di Kabupaten Maros menuntut pembayaran gaji ke-13 yang belum dibayarkan serta tunjangan-tunjangan yang lain yang belum sempat dibayarkan.
Jika kita membandingkan demonstrasi ala Mahasiswa dan demostrasi ala PNS, maka demonstrasi ala mahasiswa itu masih bisa dibenarkan sepanjang tidak mengganggu ketertiban masyarakat atau merusak/membakar fasilitas umum. Karena memang mahasiswa itu mempunyai fungsi sebagai agent of chalenge bagi kekuasaan, artinya mahasiswa itu sebagai penyeimbang atau pengontrol kebijakan penguasa. Beda dengan PNS yang sejatinya abdi negara dan abdi masyarakat. Pengertian Abdi (menurut KBBI 2008) adalah 1. orang yang menjadi milik orang lain dan terpaksa menjalankan segala perintah tuannya, mereka dapat diperjual-belikan; 2. Hamba, orang bawahan; 3. Pegawai negara. Atau sederhananya abdi itu adalah seseorang yang bekerja kepada tuannya tampa imbalan atau protes, apapun yang diprintahkan tuannya, maka wajib hukumnya menjalankanya. Dalam pengertian konteks abdi (Budak) Negara dan budak masyarakat bagi PNS memang tidak bisa disamakan dengan pengertian budak sesungguhnya(sesuai denagan KBBI 2008 pada pengertian nomor 3). Karena PNS itu bekerja kepada negara dan masyarakat ada imbalannya yakni gaji dan seperangkat tunjangan dan jaminan kesejahteraan lainnya. Dan PNS itu berhak dan punya hak untuk menolak perintah Penguasa bila memang perintah atau kebijakan penguasa itu menyalahi kaidah-kaidah yang berlaku atau merugikan masyarakat secara umum.
Tapi disini perlu digaris bawahi, bahwa penolakan atau keberatan itu tidak dilakukan dengan cara demonstrasi, atau turun kejalan dan meninggalkan rutinitasnya sebagai PNS, penolakan atau keberatan itu disampaikan kepada penguasa secara santun melalui perwakilan atau organisasinya masing-masing. Itulah sebabnya ada organisasi pada masing-masing profesi PNS, misalnya PGRI, IDI atau KORPRI. Wakil dari organisasi-organisasi inilah yang berkunjung langsung ke Penguasa untuk mempertanyakan kebijakan penguasa yang dianggap merugikan atau keberatan atas kebijakan penguasa. Tapi perwakilan organisasi ini tidak diikuti oleh massa. Kalau memang penguasa tidak mau mendengarkan aspirasi kita lagi, maka kita bisa ke Badan Kehormatan, Badan Pengawas atau kepada Wakil Rakyat kita tercinta yang ada di setiap kabupaten kota/ Propinsi dan di Pusat, tapi sekali lagi penyampaian aspirasi itu tidak dengan mengerahkan massa.
Sungguh ironi bila Proses Belajar Mengajar dikelas ditinggalkan, pasien-pasien kita yang membutuhkan pertolongan kita setiap saat atau pekerjaan-pekerjaan rutin lain kita sebagai PNS, kita tinggalkan hanya untuk mengikutin demostrasi turun kejalan, demi menuntut segera dikeluarnya gaji 13. Jangalah kita menajadi PNS-PNS yang primitif, seperti yang digelarkan HM. Jusuf kalla kepada Mahasiswa-mahasiswa yang sering demonstrasi yang mengganggu ketertiban masyarakat, bahkan terkadang anarkis yang terjadi akhir-akhir ini di makassar.
Disamping itu kita harus maklum kepada penguasa kita, bahwa mereka tidak menurunkan hak kita itu karena ada sebab yang memang yang memang mesti diprioritaskan. Misalnya keuangan daerah lagi defisit atau dana itu dipakai untuk menalangi dulu program maha penting dan yang menjadi prioritas utama, namun dana untuk program itu belum cair. Janganlah kita selalu negative thingking kepada penguasa kita, bahwa dana itu dipakai dana kampanyelah di salahgunakanlah, tampa ada pembuktian secara nyata dan meyakinkan terlebih dahulu.
Jangalah kita sedikit-sedikit menghujat penguasa inilah menghujat penguasa itulah, karena belum tentu kita bila diberi anugerah oleh Tuhan untuk menjadi penguasa, akan menjadi penguasa secepat Superman dalam menangani setiap masalah dan suci sesuci Malaikat dalam menjalankan roda pemerintahan. Kita beranalogilah, menjalankan tugas PNS sebagai abdi negara saja yang tugasnya tidak sepelik penguasa, tidak jarang/pernah juga luput dan mengabaikan tugas kita baik secara tidak sadar maupun sadar melalaikan tugas dan tanggung jawab kita tersebut.
Mulai dari sekarang marilah kita bekerja sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab kita sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dengan niat mengabdi kepada negara dan masyarakat disertai hati yang tulus dan ikhlas. Agar apa yang didapat dari setiap ritual Prajabatan itu bisa di aplikasikan, agar ceramah-ceramah Widyaswara dalam Prajabatan tidak sekedar angin lalu yang masuk ditelinga kanan dan keluar ditelinga kiri.
Bukankah kalau kita menjalankan kewajiban secara penuh maka kita akan menuai hak juga secara penuh. Karena hukum alam itu berlaku kepada siapa dan apa saja. Tak akan ada siang kalau tidak ada malam, tak akan ada imbalan yang maksimal kalau kita tidak bekerja secara maksimal pula. Tulisan ini saya refleksikan lagi setelah awal bulan Agustus di kabupaten Maros terjadi gerakan pemogokan PNS menuntuk gaji ke-13 mereka. Wallahu a’lam bisshawab. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar