GAMELAN JAWA DI MASJID KAUMAN
Menurut Clifford Geertz agama di Jawa dibagi kedalam tiga varian: santri; abangan dan priyayi. Tapi dalam pembahasan kali ini, hanya dua yan pertama yang dibahas, karena varian priyayi terutama terbatas pada class cerdik-pandai dan birokrat kota dan tidak dijumpai di pedalaman-pedalaman.
Ada tiga pembedaan asazi antara ortodoksi Islam dan Sinkretisme Jawa. Pertama adalah tauhid (monotheisme) lawan kemusyrikan (politheisme). Berbeda menonjol dengan saudara-saudara mereka santri ortodoks, kaum sinkretis secara keagamaan bersifat eklektis, memadukan kepercayaan kepercayaan animisme lokal dengan kepercayaan Hindu dan Islam untuk menghasilkan suatu kepercayaan arwah majemuk,
Nabi Muhammad saw merupakan tokoh terakhir didalam serangkaian tambahan kepada keindraan tokoh-tokoh keagamaan. Pandangan dunia seorang sinkretis pada hakikatnya adalah pandangan dunia musyrik, dimana yang tak dapat dijelaskan didalam lingkungan diterangkan dengan jalan dewa-dewa majemuk arwah-arwah lokal. Roh lokal dipohon beringin tetap lebih menonjol bagi kehidupan sehari-hari ketimbang aqidah-aqidah Islam yang menghuni Masjid. Tampa memandang perbedaan-perbedaan urusan internal dalam masyarakat mereka, kaum muslimin ortodoks memandang rendah kepercayaan kepada arwah sinkretis. Dengan menerima secara harfiah syahadat (kesaksian iman) santri tetap berpegan kepada tahid secara saleh, menolak sebagai terlarang bagi semua muslimin sejati kepercayaan-kepercayaan abangan tentang arwah penunggu, hantu-hantu, serta sarana-sarana ngelmu kebathinan untuk mengusir arwah jahat.
Perbedaan signifikan kedua adalah penekanan kaum ortodoks atas aqidah-aqidah agama dan penekanan kaum sinkretis atas upacara kepercayaan. Kaum santri memperhatikan hubungan tiap upacara agama dengan al-Qur’an dan hadist, sedangkan kaum abangan memperhatikan kecermatan formal pelaksanan upacara kepercayaan itu sendiri. Alasan pokok jenis varian abangan adalah rangkaian perayaan keagamaan yang menekankan titiktitik peralihan didalam saur kehidupan. Kelahiran, kematian, perkawinan dan khitan dirayakan dengan selamatan baik dikalngan kaum abangan, maupun sebagian kaum santri. Sedangkan kaum santri otodoks lainnya yang lebih menonjol mencap upacara-upacara tradisional ini sebagai haram-dilarang oleh islam. Kaum abangan memusatkan perhatian pada kecermatan pelaksanaan upacara kepercayaan, sedangkan kaum santri yang paling ortodoks memusatkan perhatian mereka kepada apakah semuan selamatan harus dilarang, karena selamatan-selamatan ini tidak dibenarkan secara tegas oleh Al-Qur’an. Jadi perhatian abangan direbut oleh upacara kepercayaan, sedangkan kaum santri lebih memperhatikan kemurnian aqidah. Kaum abngan menandaskan selamatan sebagai obat pencegah untuk menangkal segala macam bencana yang mungkin melanda, sedangkan kaum santri memusatkan perhatian kedsaksian iman didalam Allah yang maha esa, shalat lima waktu setiap sehari semalam, mengikuti shalat jum’at di masjid, membayar zakat fitrah tahunan, berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah haji di Mekah bagi yang mampu.
Kaum sntri secara sadar memandang diri mereka sendiri sebagai lebih suci, saleh dan lebih dekat kepada Allah ketimbang mkaum abangan. Sementara kaum abangan bertenggang rasa kepada penafsiran-penafsiran lain dari upacara keagamaan yang sama, bagi kaum santri hanya ada satu penafsiran yang tepat. Bagi kaum sinkretis kehidupan merupakan suatu permainan timbal-balik banyak dewa dan arwah. Kaum muslimin otodoks memandang kemusyirikan demikian dengan keengganan dan cemooh. Bagi kaum ortodoks seluruh segi kehidupan kehidupan mengandung keagamaan, dan upacara keagamaan “tambahan” yamg dilaksanakan kaum sinkretis melanggar aqidah Islam.
Matra perbedaan besar ketiga antara kaum ortodoks dan kaum sinkretis, bersifat keorganisasian. Menrut Geertz, kaum abangan tak punya fokus keorganisasian yang disodorkan oleh pranata-pranata dan susunan-susunan keagamaan formal. Satuan dasar kegiatan yang membentuk pusat pengamalan keagamaan sinkretis adalah rumah tangga perseorangan dan pemukiman sekitarnya. Rumah tangga dan pemukiman disekitarnya sebagai fokus kegiatan selamatan dan merupakan pusat kegiatan keagamaan kaum sinkretis.
Kaum santri membayangkan diri mereka sebagai bagian dari suatu masyarakat keagamaan yang besar dan terus-menerus: umat Islam. Masyarakat ini berpusat di masjid, Mushallah, dan Madrasah, yang semuanya membawa kegiatan kemasyarakatan yang bergerak di luar rumah tangga dan pemukiman. Pertemuan-pertemuan umum di Masjid untuk shalat Jum’at, berpuasa bagi seluruh umat selama bulan Ramadhan, zakat fitrah oleh umat Islam kepada kaum miskin, dan sekurang-kurangnya didalam teori. Fokus atas dunia Islam di luar Indonesia- hal-hal ini memberikan kaum Muslimin ortodoks suatu titik fokus yang mempranata yang tak ada kalngan kaum sinkretis.*** (dapat juga dibaca di Kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar