“Menulis buku ilmiah tidak mudah, dan tidak menguntungkan. Tidak mudah, karena kita harus punya banyak waktu dan duit; di samping perlu sedikit kecerdasan intelektual dan verbal. Tidak menguntungkan, karena menguras waktu dan duit; di samping mendatangkan sejumlah besar tekanan emosional dan fisikal.”
Kata-kata itu saya temukan dari pembuka buku Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama. Barangkali saja Kang Jalal sedang mengolok-olok dirinya sendiri yang kesepian menulis
buku-buku teks yang “berat”. Tapi dalam kata-kata itu terselip masalah besar dalam dunia perbukuan, khususnya krisis dalam dunia penulis.
Betapa tidak, berjubelnya karya-karya terjemahan di rak-rak buku dan minimnya karya penulis-penulis lokal adalah kenyataan yang akhir-akhir ini tak bisa disangkal. Kalau dipersentasekan bandingannya kira-kira: 80 persen buku terjemahan dan hanya 20 persen buku lokal. Bila penerbit ditanya, mengapa buku terjemahan begitu melimpah mereka terbitkan, sedangkan buku penulis lokal begitu sedikitnya, umumnya jawaban mereka sederhana: susah cari penulis lokal?
Benarkah? Dan bagaimana kita menjelaskan fenomena ini? Ada tiga penjelasan ringkas kenapa krisis ini terjadi.
Kesatu, miskinnya tradisi menulis dalam dunia akademis kita yang konon mampu memproduksi doktor dan profesor dalam kuantitas yang sangat gigantis. Krisis penulis buku di perguruan tinggi ini pernah dikeluhkan beberapa penulis di sebuah harian yang bermarkas di Surabaya. Juga Hamid Basyaib, seorang peneliti AKSARA. Ia mengatakan bagaimana mungkin peningkatan produk lahirnya doktor di perguruan tinggi sama sekali tidak diimbangi oleh publikasi buku-buku mereka. Nyaris publik tak mengenal karya mereka. Pun kalau ada, paling-paling hanya disertasi yang rupanya energi untuk menulis sudah habis sampai di disertasi itu.
Ya, di universitas kita, membuat buku belum menjadi sebuah kebanggaan sebagaimana tradisi di luar negeri. Tak usah jauh-jauh mengambil analogi. Lihatlah akademis-akademis luar negeri yang meneliti atau menjadi dosen tamu di Indonesia, mereka bisa melahirkan banyak buku. Sebutlah nama Magnis Suseno, K Bertens, Niels Mulder, J Meuleman, Martin van Bruinessen. Tapi bagaimana dengan akademisi kita di luar negeri? Ah, kabarnya sayup-sayup hilang.
Bisa jadi krisis ini terjadi salah satunya disebabkan karena perguruan tinggi kita belum menjadikan menulis buku semacam prasyarat bagi peningkatan jenjang kepangkatan. Untuk mendapatkan cum, misalnya, cukup menulis sekian artikel di koran atau di jurnal, ya sudah, kredit langsung menanjak. Kalau sedikit kreatif dan ada waktu lowong, serpihan klipingan artikel populer itu dikumpulkan, sedikit dipoles, diberi sampul, jadilah buku. Kata sejarawan Taufik Abdullah, buku jenis ini biasa disebut book non book. Salah? Tidak, tapi sangat tak sepadan dengan gelar doktor atau profesornya oleh publik kadung dianggap sebagai bengawan pengetahuan.
Kedua, imbalan bagi penulis buku begitu mengenaskannya. Lupakan penulis-penulis buku populer yang kaya raya dalam waktu sekejap. Rata-rata penulis buku umumnya bernasib kurang beruntung alias buntung. Apalagi mereka yang masuk golongan penulis buku-buku serius.
Sejenak kita berhitung. Katakanlah seorang menulis buku setebal 350 halaman dengan riset selama setahun lebih dan menunggu “antrian” buku itu terbit selama setahun lagi di penerbitan (baca: percetakan). Belum kalau dalam riset itu ia dibantu oleh asisten. Untuk kerjanya yang menguras waktu dan mendatangkan sejumlah tekanan emosi dan daya itu ia (hanya) disanguni royalti 10 persen dari harga jual buku yang katakanlah 35.000. Harga itu dikalikan dengan jumlah cetak (biasanya 2000 eks). Total yang diterima bersih keseluruhan adalah 7 juta. Tapi jangan bangga dulu. Ada “prosedur” lumayan bertele-tele yang mesti dilewati.
Sewaktu buku terbit, royalti penulis dibayarkan di muka 25 persen atau 1/3 dari total royalti. Jadi jumlah royalti pertama 1,75 juta. Untuk selanjutnya royalti dibayarkan secara periodik per empat bulan sesuai jumlah laporan penjualan. Ada juga yang enam bulan. Kalau misalnya dalam empat bulan buku yang laku hanya 300 eks, maka royalti yang diterima adalah 1 juta lebih dikit. Kalau dihitung-hitung dari pengambilan di muka, maka penulis masih terhitung “utang”. Padahal, uang muka itu mungkin sudah habis dibelanjakan dalam waktu satu bulan. Belum lagi begitu banyak penerbit alternatif “nakal” yang “tega” melihat seorang penulis harus mengemis-ngemis ke mereka untuk mendapatkan tetesan royalti itu.
Bandingkan dengan menulis artikel pendek di koran atau majalah yang hanya butuh sedikit waktu untuk membuka beberapa helai halaman buku (ditambah sedikit koneksi dengan redaktur opini/kolom/esai). Cukup tiga artikel saja dimuat setiap bulan dengan rata-rata honor--katakanlah 400 ribu (ada yang sampai satu juta). Jumlahkan saja berapa nominalnya selama waktu dua tahun (sama seperti waktu melakukan riset, menulis, dan menunggu kelahiran buku). Hampir 30 juta. Khusus bagi para akademisi, timbunan artikel itu jelas mendongkrak naik karir kepegawaian.
Sungguh timpang dan sangat tak menguntungkannya menulis buku itu, 'kan?
Memang, di luar negeri pun umumnya buku-buku serius biasanya jarang laris manis di pasaran dalam waktu singkat. Karena itu, penulis-penulis yang mungkin melakukan riset serius biasanya didanai oleh sebuah lembaga atau difasilitasi universitas tempatnya membaktikan ilmu. Tapi di titik ini pun ngarai kendala yang menganga kita temukan.
Dan inilah krisis ketiga: tak adanya perhatian yang serius dari pemerintah atau LSM atau lembaga donor untuk mengatrol bantuan kepada penulis ini. Memang, beberapa waktu lalu Ford Foundation (FF) bekerjasama dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mengucurkan dana untuk dunia buku. Tapi bukan untuk penulis, melainkan bantuan untuk ongkos produksi penerbit. Walhasil, dana itu disiasati sedemikian rupa oleh pemilik penerbit yang “cerdik” hingga mampu secara kilat menjadikan kantong pemiliknya menggelembung dalam sekejap. Dan penulis? Ah, tak usah disebut di mana ia tersungkur dengan royalti 10 persen itu. Angka yang sangat minim bahkan disandingkan dengan rabat yang diberikan kepada distributor atau agen yang dua kali lipat besarnya.
Lalu, siapa yang mau menulis buku?
Memang, secara ekonomi, menjadikan menulis sebagai satu-satunya topangan hidup terlampau berisiko. Terutama di Indonesia. Alangkah baiknya kalau idealisme menulis dan urusan real bisa saling menunjang. Akan tetapi kerap yang terjadi tidaklah demikian. Karena itu maka mutlak adanya memilih. Sebab menulis juga pada dasarnya adalah pilihan. Ya, pada titik pilihan ini menulis memang tidak hanya soal kantong tengah, soal perut, soal sandang pangan, tapi juga soal pilihan hidup. Yang mau menjadi penulis di dunia buku seperti ini adalah mereka yang sudah menjatuhkan pilihan pada jalan asketisme. Mereka yang asketis adalah mereka yang sudah angkat sumpah dalam hati untuk tekun setekun-tekunnya membaca, menulis, beraktivitas, dan bersiap hidup miskin.
Bagi seorang asketis, jalan menulis adalah jalan pengabdian diri yang total pada kelanjutan ingatan peradaban bagi generasi berikutnya. Bagaimana pun perlakuan masyarakat terhadap karyanya, entah dianggap picisan, tak mutu, dan tak ada penerbit yang mau menerbitkan karyanya, ia tak (terlalu) peduli. Ia hanya menulis dan menulis. Ia tunaikan kewajibannya tanpa pamrih kepada siapa pun untuk merekam apa yang terjadi di selingkungannya secara sungguh-sungguh.
Di titik sikap asketis ini kemudian kita baru bisa memahami mengapa Hugh R William menggariskan semacam “standar sukses” seorang penulis. Kata Hugh William, penulis yang sukses ialah yang telah menulis karyanya dan menerbitkannya tanpa mengindahkan soal penjualan dan imbalan secara finansial.
Berat nian jalan itu.
Dan hebatnya lagi, krisis ini tak dianggap sebagai sesuatu yang menggelisahkan, melainkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Alhamdulillah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar