Oleh : Ridwansyah Yusuf Achmad
Seiring dengan berlangsungnya Munas ke-2 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kedua di salah satu hotel termahal di Nusantara ini, Hotel Ritz-Carlton Jakarta, berakhir pula era partai yang menjadikan dakwah Islam sebagai basis gerakannya. Ini tentu menjadi pukulan telak bagi kalangan yang mengharapkan perubahan dimulai dari gerakan yang berbasis moral dan menjadikan agama sebagai ruh dari gerakan itu.
Ditabuhnya gema reformasi di tahun 1998 memunculkan partai partai bernuansakan Islam baru untuk mendampingi PPP sebagai representatif Islam di masa Orde Baru. Lahirnya PKB, PAN, PBB, dan PKS di era reformasi lalu seakan ingin menjawab kerinduan masa lalu akan romantika kejayaan Partai Masyumi.
Semua partai seakan menggadang-gadang akan menjadi pemersatu partai-partai Islam di Indonesia dengan menjadi idelogi (pure) Islam sebagai basis gerakannya. Akan tetapi seiring waktu satu per satu partai ini berguguran dan mulai menyandingkan istilah nasionalis-religius sebagai citra dari partai tersebut.
Perlahan namun pasti partai Islam ini tidak lagi menjadikan Islam sebagai citra dan ruh pergerakan dari partai tersebut. Tersisalah pada akhir 2004 hanya PKS yang masih cukup berani mencitrakan sebagai partai dakwah Islam.
Pemilu 2009 pun berakhir dengan bisa dikatakan kekalahan dari partai Islam. Semua partai turun dalam peraihan suara kecuali PKS yang hanya naik beberapa poin saja. Hal ini yang mungkin menjadi alasan kenapa pula pada akhirnya PKS menjual semangat dakwahnya menjadi semangat meraih kemenangan suara yang cenderung sangat mengejar popularitas.
Pergeseran pola gerak PKS mulai tampak dengan sangat sejak periode pemerintahan 2009-2014 ini. PKS mulai tampak pragmatis dalam beberapa isu yang ada serta lebih memilih diam atas isu-isu yang memungkinkan PKS terganggu stabilitas koalisi dengan partai pemenang Pemilu 2009. Ini menjadi sebuah pertanyaan bagi kalangan yang berharap banyak pada partai dakwah yang mengklaim dirinya sebaga partai yang bersih peduli dan profesional. PKS seakan saat ini tidak tegas dan keras dalam menegakkan kebenaran.
Jika menilik saat Pemilu 1999 PK (nama sebelum PKS) hanya mengirimkan 7 politisi Islam militan ke Senayan dan seorang Nur Mahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan. Akan tetapi perubahan yang terasa karena ruh dakwah setiap individu ini berbuah hasil yang signifikan. Sebutlah Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail yang dikenal sederhana dan membersihkan koruptor di Kementerian Kehutanan saat itu.
PKS pun tampaknya mulai menggeser beberapa nama kader yang dulu membesarkan partai ini dengan politisi muda yang tampak populis dan pragmatis. Sebutlah nama Hidayat Nur Wahid yang sekarang hilang ditelan bumi. Padahal sebelumnya beliau seorang Ketua MPR. Atau didepaknya nama Saiful Islam yang dikenal sebagai seorang yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari PKS.
Perubahan lain pun terjadi dari pola pergerakan PKS adalah semangat yang ditularkan kepada kadernya. PKS dulu mendoktrin kadernya untuk mengajak masyarakat berislam dengan baik atau berdakwah secara utuh. Akan tetapi kini semangat yang ditularkan adalah untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang yang mencoblos PKS. Proses pergerakannya pun hanya sebatas saat pemilu kepala daerah atau pemilu nasional sehingga semakin membenarkan PKS semakin berpikir instan dan pragmatis untuk merebut kemenangan.
Jika dulu semangatnya adalah ilallah (untuk Allah) maka sekarang adalah ilal hizb (untuk partai). Semangat pelayanan dan pengabdian masyarakat yang menjadi jiwa 'peduli' PKS pun juga semakin berkurang dan tergantikan dengan politik pencitraan yang menghabiskan banyak uang dan cenderung populis.
Hingga terakhir saat Munas ke-2 ini PKS akhirnya mengorbankan dana sangat besar untuk untuk mengadakan acara di hotel yang memiliki tarif rata-rata kamarnya sekitar 3 juta rupiah. Turut diundangnya Dubes Amerika Serikat dan memberikan kesempatan baginya untuk berbicara menjadi pertanyaan.
Apakah PKS akan bersahabat dengan Amerika Serikat? Jika iya jawabannya maka jelas sangat pragmatisme partai ini dan semakin tampak bahwa PKS bukan lagi partai dakwah. Akan tetapi hanya sekedar partai politik biasa yang mencoba merangkul semua kalangan untuk meraih kemenangan. (http://al-ikhwany.blogspot.com/2010/06/oleh-ridwansyah-yusuf-achmad-seiring.html)
Ditabuhnya gema reformasi di tahun 1998 memunculkan partai partai bernuansakan Islam baru untuk mendampingi PPP sebagai representatif Islam di masa Orde Baru. Lahirnya PKB, PAN, PBB, dan PKS di era reformasi lalu seakan ingin menjawab kerinduan masa lalu akan romantika kejayaan Partai Masyumi.
Semua partai seakan menggadang-gadang akan menjadi pemersatu partai-partai Islam di Indonesia dengan menjadi idelogi (pure) Islam sebagai basis gerakannya. Akan tetapi seiring waktu satu per satu partai ini berguguran dan mulai menyandingkan istilah nasionalis-religius sebagai citra dari partai tersebut.
Perlahan namun pasti partai Islam ini tidak lagi menjadikan Islam sebagai citra dan ruh pergerakan dari partai tersebut. Tersisalah pada akhir 2004 hanya PKS yang masih cukup berani mencitrakan sebagai partai dakwah Islam.
Pemilu 2009 pun berakhir dengan bisa dikatakan kekalahan dari partai Islam. Semua partai turun dalam peraihan suara kecuali PKS yang hanya naik beberapa poin saja. Hal ini yang mungkin menjadi alasan kenapa pula pada akhirnya PKS menjual semangat dakwahnya menjadi semangat meraih kemenangan suara yang cenderung sangat mengejar popularitas.
Pergeseran pola gerak PKS mulai tampak dengan sangat sejak periode pemerintahan 2009-2014 ini. PKS mulai tampak pragmatis dalam beberapa isu yang ada serta lebih memilih diam atas isu-isu yang memungkinkan PKS terganggu stabilitas koalisi dengan partai pemenang Pemilu 2009. Ini menjadi sebuah pertanyaan bagi kalangan yang berharap banyak pada partai dakwah yang mengklaim dirinya sebaga partai yang bersih peduli dan profesional. PKS seakan saat ini tidak tegas dan keras dalam menegakkan kebenaran.
Jika menilik saat Pemilu 1999 PK (nama sebelum PKS) hanya mengirimkan 7 politisi Islam militan ke Senayan dan seorang Nur Mahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan. Akan tetapi perubahan yang terasa karena ruh dakwah setiap individu ini berbuah hasil yang signifikan. Sebutlah Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail yang dikenal sederhana dan membersihkan koruptor di Kementerian Kehutanan saat itu.
PKS pun tampaknya mulai menggeser beberapa nama kader yang dulu membesarkan partai ini dengan politisi muda yang tampak populis dan pragmatis. Sebutlah nama Hidayat Nur Wahid yang sekarang hilang ditelan bumi. Padahal sebelumnya beliau seorang Ketua MPR. Atau didepaknya nama Saiful Islam yang dikenal sebagai seorang yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari PKS.
Perubahan lain pun terjadi dari pola pergerakan PKS adalah semangat yang ditularkan kepada kadernya. PKS dulu mendoktrin kadernya untuk mengajak masyarakat berislam dengan baik atau berdakwah secara utuh. Akan tetapi kini semangat yang ditularkan adalah untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang yang mencoblos PKS. Proses pergerakannya pun hanya sebatas saat pemilu kepala daerah atau pemilu nasional sehingga semakin membenarkan PKS semakin berpikir instan dan pragmatis untuk merebut kemenangan.
Jika dulu semangatnya adalah ilallah (untuk Allah) maka sekarang adalah ilal hizb (untuk partai). Semangat pelayanan dan pengabdian masyarakat yang menjadi jiwa 'peduli' PKS pun juga semakin berkurang dan tergantikan dengan politik pencitraan yang menghabiskan banyak uang dan cenderung populis.
Hingga terakhir saat Munas ke-2 ini PKS akhirnya mengorbankan dana sangat besar untuk untuk mengadakan acara di hotel yang memiliki tarif rata-rata kamarnya sekitar 3 juta rupiah. Turut diundangnya Dubes Amerika Serikat dan memberikan kesempatan baginya untuk berbicara menjadi pertanyaan.
Apakah PKS akan bersahabat dengan Amerika Serikat? Jika iya jawabannya maka jelas sangat pragmatisme partai ini dan semakin tampak bahwa PKS bukan lagi partai dakwah. Akan tetapi hanya sekedar partai politik biasa yang mencoba merangkul semua kalangan untuk meraih kemenangan. (http://al-ikhwany.blogspot.com/2010/06/oleh-ridwansyah-yusuf-achmad-seiring.html)
Segala Cita-Cita Berakhir di Ritz Carlton
Oleh : Muhammad Fatih
Segala cita-cita PKS berakhir di Hotel The Ritz Calrton. Partai PKS tidak lagi menjadi partai dakwah, yang memiliki jargon 'bersih, peduli, dan profesional', dan kemudian menjadi partai 'terbuka', yang dioreintasikan bagi semua golongan.
Di tempat yang sangat ekslusif, dan hanya dapat dikunjungi oleh kalangan terbatas, di The Ritz Carlton itu, teka-teki tentang kepemimpinan, sasaran, arah, kebijakan, langkah masa depan yang akan dituju Partai PKS, semuanya menjadi 'clear'. Semuanya sudah terekpresikan dalam Munas II itu.
Dari kepemimpinan tidak ada perubahan tetap wajah-wajah lama, termasuk Ketua Majelis Syuro, yaitu tetap Hilmi Aminuddin. Sasaran yang ingin diraih PKS menjadi partai tiga besar di pemilu 2014. Arah yang dituju PKS menjadi partai terbuka, inklusif, dan mewadahi semuanya golongan dan agama di Indonesia. Tidak eksklusif. Artinya PKS akan menjadi wadah semua golongan dan agama, melepaskan diri dari jati dirinya sebagai partai dakwah, yang membawa cita-cita dan prinsip-prinsip yang ingin menegakkan Islam. Adapun kebijakan PKS tetap menjadi 'backbone' (tulang punggung) pemerintahan SBY, dan sekarang mengarah lebih dekat dengan AS. Itulah kesimpulan Munas II PKS, yang baru usai.
PKS yang baru saja selesai melaksanakan Munas II, di Hotel The Ritz Carlton dengan biaya Rp 10 miliar, di mana sebelumnya telah melangsungkan musyawarah Majelis Syura, yang berlangsung medio Mei, di hotel mewah JW Marriott, Kuningan. Pertemuan di JW.Marriot menandai berakhirnya anggota Majelis Syuro, periode 2005-2010, dan sekaligus melantik anggaota Majelis Syuro yang baru, periode 2010-2015.
Dengan disyahkannya anggota Majelis Syuro yang baru itu, selanjutnya dilangsungkan pemilihan Ketua Majelis Syuro, dan pengukuhan presiden partai, pengukuhan ketua MPP (Majelis Pertimbangan Partai), pengukuhan ketua DSP (Dewan Syariah Pusat), dan pengukuhan Ketua Majelis Syuro, Hilmi Aminuddin. Semunya hanya tinggal 'ketok palu'. Berjalan dengan lancar, dan tidak ada 'dissent' (perbedaan), setuju secara aklamasi.
Barangkali inilah sebuah pesta politik luar biasa bagi sebuah partai politik Islam yang selama ini mengusung nilai-nilai da’wah berupa kejujuran, kesederhanaan dan kebersahajaan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun, PKS yang awal berdirinya menggunakan prinsip “al-hizbu huwal jama'ah, wal jama'ah hiyal hizb" (partai adalah jama'ah, dan jama'ah adalah partai), di mana PKS yang hakikatnya representasi Jamaah Ikhwan itu, kini telah mengambil jalan baru, yang ingin dicitrakan lebih inklusif, dan tidak eksklusif, kemudian memilih sebagai partai : terbuka.
Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminuddin, menegaskan, inklusifitas yang dibangun PKS saat ini sebagai bagian dari konsekuensi pelaksanaan ajaran Islam. Ajaran Islam, kata Hilmi, harus menerima pluralitas sebagai kesadaran positif mendorong dinamika kehidupan. "Inklusif ini bukan taktik atau strategi, tapi pelaksanaan ajaran Islam yang hakiki", tegasnya. Hilmi Aminuddin, menambahkan, bahwa cita-cita untuk menjadikan PKS sebagai partai terbuka, sejatinya sudah sejak Munas di Bali tahun 2008.
Pernyataan yang lebih ambisius, secara ekplisit disampaikan oleh Sekjen PKS Anis Matta, yang menyatakan, "Kami harus mengadakan lompatan besar untuk masuk menjadi tiga besar pada pemilu 2014”, ujar Anis Matta. “Parpol Islam harus tidak lagi menampilkan citra yang kaku, eksklusif dan ideologis, melainkan justru tampil segar, ringan, pluralis", tegasnya.
"Isu 'Negara Islam' dan 'Piagam Jakarta' tak mampu menguatkan identifikasi pemilih muslim kepada parpol Islam. Perubahan substansial harus dilakukan parpol Islam”, tambah Fahri Hamzah, Wakil Sekjen PKS.
PKS memang bertekad melakukan perubahan mendasar dalam gerakan politiknya ke depan, dengan mulai membuka diri sebagai partai politik yang lebih terbuka dari berbagai kalangan. Hal itu terlihat dari sikap PKS yang ingin merangkul non-muslim, bukan saja sebagai anggota partai atau anggota legislatif, tetapi juga pengurus partai dari DPC hingga DPP. Ini terkait dengan langkah kebijakan yang menginginkan PKS menjadi partai tiga besar.
“Apapun agamanya (Yahudi, Nashara, Hindu, Budha) sepanjang memiliki garis perjuangan yang sama, adalah warga PKS”, kata Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq menjelang pembukaan Munas. Dia tidak menampik ada rencana perubahan AD/ART PKS terkait dengan pengakomodasian kalangan non-muslim untuk menjadi pengurus dan pimpinan PKS di setiap level struktural partai.
Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Burhanuddin Muhtadi, menilai sikap PKS yang mengakomodasi kalangan non-muslim sebagai strategi meraih suara lebih besar pada pemilu 2014, “Itu bagian dari strategi PKS untuk memperbesar ceruk pemilih,” katanya.
Untuk menunjang pencapaian target tersebut, PKS menginginkan agar koalisinya dengan pemerintah tetap terjaga dan solid hingga Pemilu 2014 mendatang. “Bapak Presiden SBY, bagi kami kebersamaan dalam koalisi ini bukan sekedar agenda program politik kami, tetapi itu merupakan aqidah kami, iman kami,” tegas Ketua Majelis Syura PKS, Hilmi Aminuddin. “Kalimat itu masih tetap berkobar. Dalam dua masa jabatan SBY itu, kami tetap berkomitmen melanjutkan koalisi permanen dengan SBY,” ujarnya.
Hilmi mengakui banyak pihak yang berusaha mengganggu hubungan PKS dengan SBY. “Banyak yang iri, mengapa utadz Hilmi gampang sekali mondar-mandir ke Cikeas. Tetapi percayalah Pak SBY, bahwa koalisi PKS adalah koalisi dengan Soesilo Bambang Yudhoyono.” kata Hilmi Aminuddin, yang disambut tepuk tangan gemuruh peserta Munas. “Koalisi ini adalah backbone (tulang punggung), apabila patah, maka kaki tidak bisa digerakkan, tangan lunglai, dan kepala terkulai.” tegas Ketua Majelis Syuro.
Dalam pembukaan Munas yang dibuka oleh Presiden SBY dan dihadiri para menteri kabinet, para elit partai politik dan Duta Besar negara sahabat, yaitu Amerika Serikat, Australia dan Jerman, Presiden SBY menasihati Presiden PKS yang mengeluh dengan banyaknya kritikan terhadap PKS sembari mengutip pernyataan Presiden Amerika, Abraham Lincoln, “Apabila besok pagi Presiden Amerika bisa berjalan di atas air, niscaya rakyat Amerika akan berkomentar, “Itu kan karena Presiden tidak bisa berenang”; agar Pak Luthfi sabar dan terus bekerja keras. “Anda belum setahun dikritik. Sedang saya sudah lebih dari lima setengah tahun dikritik”, ujar SBY.
Dalam Sidang Majelis Syura PKS, Rabu (6 Juni), dengan agenda amandemen anggaran dasar/ anggaran rumah tangga (AD/ART) terjadi perdebatan terkait dengan usulan melegal-formalkan keanggotaan dan kepengurusan non-muslim dalam PKS.
Sidang yang berjalan lambat lantaran masih ada anggota Majelis Syura yang keberatan dengan usulan keanggotaan non-muslim. Mereka khawatir pembukaan ruang bagi kalangan non-muslim akan berimbas terhadap basis massa PKS yang berasal dari kalangan Muslim. Namun, pada sidang sesi ke-2 sekitar pukul 23.00, “Semua anggota Majelis Syura akhirnya sepakat melegal-formalkan non-muslim dalam keanggotaan/kepengurusan PKS.” jelas Mahfud Shiddiq, salah seorang panitia Munas II PKS.
Nampaknya, PKS untuk mencapai ambisi politiknya menjadi partai tiga besar dalam pemilu 2014, melakukan 'double cover' dalam berpolitik. Partai PKS menjadikan Presiden SBY bukan hanya sebagai 'patron'nya, tetapi juga menjadikan SBY sebagai 'midholah' (pelindung) politiknya, agar PKS terus dapat melaksanakan tujuan-tujuan politiknya, mencapai pusat kekuasaan.
Apakah dengan dukungan PKS sebagai 'backbone' pemerintahan SBY, PKS harus mengorbankan kasus Bank Century? Padahal, PKS yang sangat berapi-api, ketika membahas kasus bail out Bank Century, dan menghasilkan keputusan opsi C di dalam Paripurna DPR. Tapi, sesudah Menkeu Sri Mulyani mengundurkan dari jabatannya, dan menjadi Managing Direktur Bank Dunia, kemudian terbentuknya Setgab, yang dipimpin Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, PKS menyetujui kasus Century di tutup. Melalui sebuah kesepakatan antara anggota koalisi, akhirnya mereka menandatangi sebuah fakta, yang PKS di wakili Sekjen PKS, Anis Matta menandatangani penutupan kasus Century. Padahal, jutaan rakyat Indonesia mengharapkan adanya penegakkan hukum. Tetapi, segalanya berakhir dengan adanya dukungan PKS kepada Presiden SBY, kasus Century menjadi bagian masa lalu. Ini sebuah ironi.
Pendekatan PKS kepada AS juga termasuk bagian dari langkah politiknya untuk memudahkan menuju ke pusat kekuasaan. PKS masih merasa tidak cukup dengan dukungan politik dari SBY, yang sebenarnya juga pro-Barat (AS), dan lima tahun ke depan SBYakan berakhir, maka partai yang sebelumnya sebagai partai dakwah ini, bukan hanya melakukan komunikasi politik, tetapi juga mungkin negosiasi politik dengan AS.
Dikalangan elite politik PKS masih memiliki paradigma tidak ada kekuasaan baru di negara Dunia Ketiga yang tanpa restu dari Washington. Mungkin ini adalah sebuah 'common sense' dari elite PKS, karena paradigma yang masih melekat dalam 'mindset' mereka, di mana AS masih digambarkan sebagai 'adi daya' (super power). Kehadiran Dubes AS Cameron Hume, di arena Munas, sebagai sinyal akan adanya langkah-langkah ke arah 'mutual trust' antara PKS dengan AS.
Pandangan elite PKS, sebelum mereka mengelola kekuasaan di masa depan, mereka berpendapat harus ada semacam 'guarantee' (jaminan), yang sifatnya dukungan politik dari AS. Dengan dukungan politik dari AS, maka PKS akan mampu mengelola negara secara efektif.
Memang, faktanya banyak rejim di negara-negara Dunia Ketiga, yang tidak sejalan dengan ideologi, kepentingan, dan kebijakan luar negeri AS, nasibnya menjadi malang, di turunkan. Belajar sejarah politik dan kondisi global inilah, PKS mencoba melakukan 'preparing' (persiapan) dalam menapaki jalan menuju kekuasaan. Pendekatan politik dengan AS, sebagai pandangan yang memang keharusan bagi elite PKS, karena AS di mata mereka sebagai kekuatan yang mempunyai pengaruh politik secara global.
Padahal, segalanya telah berubah, dan AS tidak lagi menjadi kekuatan 'adi daya' (super power), dan sekarang semakin melemah. AS memiliki utang luar negeri 360 persen dari total PDB nya. AS mengalami defisit anggaran (APBN) yang lebh dari $ 1 triliun dolar. AS juga mengalami defisit perdagangan dengan negaranya mitranya. AS dihentakkan oleh resesi ekonomi, yang sampai sekarang belum pulih. AS harus memikul beban biaya militernya di luar negeri, seperti di Irak, Afghanistan, Jepang, dan Uni Eropa. Tanda-tanda kebangkrutan AS sudah sangat nampak.
Tapi, mengapa elite PKS masih mengharapkan dukungan politik, bukan hanya dari Presiden SBY, tetapi juga dari AS, yang notabene sudah mengalami kebangkrutan? AS tidak lagi menjadi 'adi daya' (super power) tunggal, dan sekarang muncul konfigurasi politik baru, atau munculnya regionalisme baru di berbagai kawasan. AS sudah mulai ditinggalkan sekutu-kutunya.
Mengapa pragmatisme politik, yang dilakukan bukan hanya menjadikan SBY sebagai patron politiknya, tetapi juga pelindungnya, dan sekaligus ingin mendapatkan 'guarentee dari AS, yang masih dalam 'mindset' dapat menjadi jaminan untuk mencapai tujuan politik di masa depan? Langkah-langkah yang sekarang diambil oleh elite PKS itu sebenarnya, tidaklah selamanya menguntungkan karena mengabaikan nilai-nilai prinsip. “Walau petinggi PKS membantah partainya pragmatis, selama beberapa tahun terakhir, PKS memang lebih pragmatis dalam berpolitik. Sama seperti semua partai lainnya karena tujuannya sama, yaitu untuk berkuasa”, kata seorang pengamat politik.
Dalam survei Litbang Kompas, 16 Jnui, terungkap bahwa PKS ternyata merupakan partai yang “Paling Tidak Konsisten” dalam sikap politiknya di DPR dibanding partai-partai koalisi pemerintah lainnya. Kalau survei ini benar, berarti pernyataan Ketua Majelis Syura PKS, Hilmi Aminuddin, di depan Presiden SBY dan ribuan peserta Munas, apakah bisa dipertanyakan?
Apakah dengan dukungan politik SBY dan AS, di masa depan PKS akan menjadi patai tiga besar? Sehingga, harus melakukan pragmatisme politik, dan mengubah esensinya partai, seperti sekarang menjadi partai terbuka? Sebuah langkah penuh dengan 'gambling', karena hanya terobsesi dengan kekuasaan, sementara prinsip-prinsip dalam berpolitik, sebagai partai dakwah ditanggalkannya.
Mestinya, para elite PKS tidak harus menjadikan SBY sebagai 'midholah'nya, dan mencari jaminan politik dari Washington. Cukup dengan kerja keras dengan membela seluruh kepentingan rakyat, elite politik hidup dengan jujur, bersih, peduli, bersahaja, tidak bergaya kosmopolitan, yang tidak sesuai dengan kondisi rakyat yang ada. Cara ini lebih masuk akal untuk menapaki jalan menuju kekuasaan.
Tapi, segalanya telah berlalu, dan hanya dapat mengucapkan 'say good bye to PKS'.
Mohammad Fatih.
Wallahu'alam
Sumber: http://al-ikhwany.blogspot.com/2010/06/segala-cita-cita-berakhir-di-ritz.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar