Antara Rokok, Hak kesehatan, kemiskinan dan Hak Asasi manusia - Saat kita mendengar kata rokok, yang muncul dibenak kita sebagai orang awam adalah sebuah tembakau rajang yang sudah diolah dan dicampur dengan berbagai zat adiktif (berdasar hasil penelitian ilmiah terdapat 4.000 macam zat berbahaya didalamnya) untuk dihisap asap dan aroma dari racikan tembakaunya. Berdasar klasifikasi dari industri rokok, beragam macam bentuknya, mulai dari kretek, filter, cerutu, dan lain sebagainya. Begitu juga jenis dari rokok itu sendiri, ada yang disebut slim, mild, premium, dan lain sebagainya.
Indonesia adalah adalah negara terbesar ke-5 (lima) konsumen rokok pada tahun 2004 (US Department of Agriculture. World's Leading Un-manufactured Tobacco Producing, trading and Consuming Countries, 2004). Dengan menempati peringkat ke-5 (lima) dunia, Indonesia merupakan salah satu pasar potensi bagi industri rokok, dan tidak heran jika di Indonesia terdapat 3.000 lebih pabrik rokok berskala lokal maupun nasional, jumlah tersebut yang terdaftar di Kementerian Perindustrian, belum lagi industri rumahan yang tidak terdaftar. Bahkan banyak pemodal-pemodal asing masuk ke Indonesia dengan menginvestasikan usahanya di industri rokok, karena Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai potensi pasar yang cukup tinggi tanpa dibatasi status sosial seseorang. Fenomena atau trend merokok di Indonesia semakin di-'manjakan' oleh negara, dan merupakan satu-satunya negara yang tidak meratifikasi FCTC serta belum mempunyai regulasi yang komprehensif untuk mengatur peredaran dan produksi tembakau bagi industri rokok kecuali hanya regulasi tentang cukai rokok.
Akhir-akhir ini persoalan iklan, peredaran dan produksi rokok di Indonesia memunculkan keadaan pro dan kontra atas persoalan rokok tersebut, di satu sisi para aktivis anti rokok berupaya mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi tentang rokok untuk melindungi masyarakat non perokok karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan manusia dan lingkungan secara global akibat dampak negatif asap rokok dengan berbagai argumen ilmiah dan sebagai bentuk kepedulian warga bangsa atas dampak bahaya merokok, terutama melindungi anak dari dampak negatif atas asap rokok. Di sisi lain, industri rokok dan pemerintah mencoba untuk mencari jalan tengah dengan berdalih melindungi kepentingan nasional yang lebih besar atas pertumbuhan dan perkembangan industri rokok dari mulai pengusaha, tenaga kerja industri rokok sampai pada petani tembakau.
Berbagai argumentasi tentang dampak tembakau ini, mengelitik saya untuk melakukan 'penerawangan' dari berbagai aspek yang melingkupi kehidupan kita, baik sisi individu maupun manusia sebagai makhluk sosial. Sekaligus tulisan ini bagian dari pengakuan diri sang penulis sebagai manusia individu dan sosial adalah bagian dari masyarakat perokok, namun pada tulisan ini berpikir obyektif dalam memberikan paradigma tentang persoalan rokok.
Rokok dan Kesehatan
Masyarakat perokok pada dasarnya menyadari bahwa tembakau yang dijadikan rokok merupakan salah satu potensi sumber penyakit dan mengganggu kesehatan diri maupun lingkungan sekitarnya. Hal ini wajar jikalau rokok merupakan salah satu sumber potensi penyakit manusia, karena rokok mengandung 4.000 macam zat berbahaya bagi tubuh manusia, salah satunya yang sering kita dengar dan kita baca dalam bungkus rokok adalah TAR. Suatu zat yang digunakan untuk campuran aspal jalan. tidak hanya TAR yang sering didengar oleh kita, dalam satu batang rokok tersebut juga terdapat beberapa zat yang sering kita dengar misalnya nikotin (kandungan pestisida), ammonia (kandungan pembersih lantai), karbon monoksida (gas beracun), formalin (bahan pengawet mayat), arsen (racun tikus), cadmium (bubuk batre), dan lain-lain.
Dengan kandungan yang sangat berbahaya itu, rokok tidak hanya berbahaya bagi sang penghisapnya namun juga bagi orang yang tidak sengaja menghisap asap (perokok pasif) dari rokok yang dihisap oleh si perokok, bahkan akan lebih berbahaya dampaknya kepada perokok pasif ketimbang si perokok itu sendiri. Hal ini disebabkan perokok pasif tidak langsung menghisap asapnya namun yang dihisapnya adalah limbah asap dari asap si perokok, terlebih lagi kalau yang menghisap asapnya adalah anak-anak yang notabene rentan atas segala bentuk penyakit atas diri dan tubuhnya.
Berdasar hasil studi Mortalitas Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menyebutkan bahwa di Indonesia, rokok meningkatkan risiko kematian penderita penyakit kronis menjadi 1,30–8,17 kali lebih besar. Di sisi lain, pada tahun 2005 biaya kesehatan yang dikeluarkan Indonesia karena penyakit terkait tembakau mencapai 18,1 miliar USD atau 5,1 kali lipat pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama (Kosen, S. 2007 Indonesia Report Card).
Berbagai macam penyakit yang menghantui para perokok, baik perokok aktif maupun pasif sangat mengerikan. Ini bisa dicermati dengan berbagai potensi penyakit seperti berbagai jenis kanker, penyakit paru, hipertensi, jantung iskemik, stroke, potensi kebutaan, gangguan reproduksi dan kesuburan, dan lain sebagainya menjadikan rokok merupakan salah satu produk legal berbahaya bagi yang mengkonsumsinya.
Rokok dan Kemisikinan
Industri rokok maupun prilaku merokok di masyarakat dalam aspek sosial ekonomi tidak bisa dilepas dari perspektif kemiskinan. Pada aspek produksi, banyak faktor atau elemen yang terlibat pada aspek tersebut di antaranya adalah pemilik pabrik (pemodal), karyawan/buruh, petani tembakau sampai pada penjual rokok di pinggiran jalan. Ini bisa dicermati pada tahun 2008 produksi dan peredaran rokok di Indonesia sebanyak 250 miliar batang rokok (sumber: Global Tobacco Control Report, 2008).
Berdasar fakta dan data tersebut apabila di kalkulasikan secara awam, dari 250 miliar batang rokok di Indonesia potensi beredarnya uang hanya untuk konsumsi rokok sebesar Rp 125 triliun (asumsi 1 (satu) batang rokok seharga 500 rupiah), bandingkan dengan Anggaran Belanja Negara Tahun 2010 yang dianggarkan untuk bidang kesehatan yang hanya ± Rp 18 triliun, juga bidang bantuan sosial yang hanya ± Rp 64,2 triliun, maupun anggaran untuk bidang perlindungan sosial yang hanya ± Rp 3,4 triliun.
Ini berarti potensi pemiskinan rakyat Indonesia terbuka lebar, bagaimana tidak!!! Anggaran negara untuk peningkatan kualitas masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun kesehatan dikalahkan dengan peredaran rokok yang diperjualbelikan di Indonesia tanpa ada perlindungan regulasi bagi warganya. Di sisi lain berdasar hasil tongkrongan penulis pada komunitas pemulung di pinggiran Jakarta, 10 (sepuluh) orang 4 di antaranya anak berusia sekitar 15 tahunan yang diajak ngobrol di warung kopi adalah perokok dan mereka rata-rata menghabiskan 6–12 batang rokok/hari, kalau dirupiahkan dalam sehari mereka menghabiskan uang 6 ribu–9 ribu rupiah/hari, sedangkan pendapatan mereka sehari antara 15 ribu–20 ribu rupiah/hari. Ini berarti dari total pendapatan mereka 40–45% dipergunakan untuk menkonsumsi rokok.
Hal ini menyebabkan kebutuhan pokok keluarga sering terabaikan, kita bayangkan uang 6 ribu–9 ribu rupiah sebenarnya sangat berarti bagi mereka untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Disebabkan mereka sudah teradiktif dan kecanduan rokok serta mereka sangat sulit untuk berhenti dari kebiasaan merokok dan tertipu dengan sugesti iklan rokok yang menyebar tanpa batas, pada akhirnya mereka mengorbankan kualitas hidup diri dan keluarganya. Seringkali mereka terjebak antara konsumsi rokok dengan kebutuhan dasarnya ketika berhadapan dengan jumlah pendapatannya. Begitu juga saat penulis mengajak ngobrol beberapa buruh industri rokok besar di daerah Jawa Timur pada pertengahan tahun 2009 lalu, mendapati fakta bahwa 40–50% pendapatan mereka dihabiskan untuk mengkonsumsi rokok, yang notabene mereka setiap hari bergelut dengan aroma tembakau dan rokok.
Lebih mengejutkan adalah saat saya libur Lebaran tahun 2009, mendapati para buruh/petani tembakau yang mengeluhkan harga tembakau seringkali dipermainkan oleh pihak tengkulak dan industri rokok, sehingga tembakau yang menurut mereka menjadi produk unggulan dan harapan mereka untuk mensejahterakan keluarganya tidak terwujud dikarenakan penentuan harga tembakau adalah pihak industri rokok dan belum adanya regulasi harga dari pemerintah yang jelas dan tegas. Ini diperparah dengan fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mengimpor tembakau, pada tahun 2006 Indonesia mengimpor tembakau dengan nilai 47,2 juta USD ini berarti lebih tinggi dari nilai ekspor Indonesia di sektor tembakau (Sumber: Departemen Pertanian RI).
Kembali pada relevansi rokok dan kemiskinan, berdasar deskripsi dan argumentasi yang sudah dijelaskan sebelumnya serta berdasar fakta yang ada adalah para pecandu rokok sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang karena terhimpit ekonomi, mereka berusaha untuk menghilangkan tekanan maupun depresi atas keterhimpitan ekonominya serta dampak sugesti dari zat adiktif dari produk legal yang dinamakan rokok tersebut. Sehingga perilaku merokok menjadi bagian kebutuhan yang dipaksakan dan mengalahkan kebutuhan hidup dasar manusia yakni sandang, pangan dan papan.
Pemanfaatan potensi masyarakat miskin pun secara tidak langsung dieksploitasi oleh industri rokok dengan pemanfaatan promosi dan iklan yang luar biasa tanpa batas dalam membangun image kebanggaan, rileksasi, kemampuan dalam mencapai harapan dan impian seseorang seperti enjoy aja, gak ada loe gak rame, pria sejati, kreatif, ketangguhan, dan lain sebagainya. Ini menyebabkan masyarakat miskin terutama anak-anak dari keluarga miskin berimajinasi dan mencoba apa yang mereka lihat, mereka dengar, serta menurut mereka merokok adalah salah satu bagian gaya hidup anak kota dan bagian dari penunjukan identitas diri tanpa berpikir kemampuan diri dan sosialnya.
Dan pada akhirnya keterpaksaan keluarga miskin dalam memangkas pendapatan untuk konsumsi rokok yang dalam sehari bisa menghabiskan 6–12 batang/hari ini dapat teratasi karena produk tembakau dapat dibeli secara batangan sehingga akses untuk menjadi korban ketergantungan produk rokok bagi masyarakat sangat besar terlebih pada masyarakat miskin.
Rokok dan Hak Asasi Manusia
Kita harus mengakui bahwa industri yang menghasilkan produk rokok adalah produk legal yang juga melakukan kewajibannya membayar pajak untuk negara, industri rokok pun turut serta dalam membangun dan mengembangkan tenaga kerja di Indonesia. Industri rokok juga membeli tembakau yang dihasilkan oleh petani sebagai bahan baku utama produk rokok selain zat kimia berbahaya yang menjadi bagian dari bahan baku produksi rokok. Sehingga industri rokok merupakan bagian dari tempat bergantung sebagai lahan kehidupan bagi orang-orang yang terlibat dalam proses produk rokok itu sendiri.
Di sisi lain, industri rokok pun secara langsung dan tidak langsung turut serta menciptakan sumber-sumber penyakit yang menimpa manusia sebagai bagian dampak asap rokok tanpa mengenal batasan manusia, dari anak hingga orang dewasa, dari perempuan maupun laki-laki. Industri rokok juga salah satu industri legal yang menciptakan produk berbahaya bagi tumbuh kembang manusia, baik secara individu maupun manusia secara sosial. Sehingga industri rokok merupakan bagian dari industri (capital corporate ) yang turut serta melanggar hak dasar manusia untuk hidup sehat dan menghirup udara bersih, secara tidak langsung turut serta merampas hak hidup manusia akibat dari terpapar asap rokok.
Dengan melihat dua aspek tersebut yakni di satu sisi memang industri rokok adalah bagian dari industri legal bagi Negara, di sisi lain industri penghasil produk rokok adalah sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia karena mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh manusia apabila menghirup asap rokok baik langsung maupun tidak langsung.
Celakanya, Indonesia merupakan negara yang tidak mempunyai regulasi dalam pengaturan peredaran dan pembatasan rokok untuk melindungi warganya dari dampak asap rokok. Yang ada hanyalah pengaturan tentang cukai untuk penerimaan negara dari produk rokok. Ini berbeda ketika pemerintah Indonesia menciptakan regulasi tentang pembatasan peredaran minuman beralkohol (minuman yang memabukkan) tinggi, yang mana pemerintah merespons dengan cepat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Hal yang mendasari dikeluarkanya Keppres tersebut adalah bahwa "minuman beralkohol dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia dan gangguan ketertiban serta ketenteraman masyarakat, sehingga perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap produksi, peredaran, dan penjualannya" (Baca pada bagian Menimbang). Padahal produk rokok juga mengandung unsur kerugian terhadap kesehatan manusia didalamnya, namun pemerintah sangat tidak berani mengeluarkan regulasi tentang pengawasan dan pengendalian produk rokok di Indonesia.
Alasan yang dipakai oleh pemerintah dan atas perlawan dari industri rokok, bahwa rokok adalah industri yang banyak menyerap tenaga kerja dan melibatkan banyak unsur masyarakat dalam proses produksinya seharusnya bukan menjadi alasan pembenaran, karena alasan tersebut sebenarnya dapat terbantahkan. Lihat laman mitos dan fakta tentang tembakau di http://www.surabaya-ehealth.org/dkksurabaya/berita/9-mitos-dan-fakta-tentang-tembakau, selain hal tersebut fakta bahwa adanya Keppres tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol yang dikeluarkan pemerintah ternyata berjalan efektif dan tidak mempengaruhi kondisi dan situasi ketenagakerjaan dan unsur yang terlibat dalam proses produksi minuman beralkohol tersebut.
Solusi
Oleh karenanya ada beberapa hal yang sebenarnya dapat menjadi jalan tengah adanya pro dan kontra tentang dikeluarkan atau tidaknya regulasi tentang pengawasan dan pengendalian produk tembakau di Indonesia yang sebenarnya sudah banyak dibahas dalam tulisan-tulisan yang mengangkat topik tentang tembakau sebagai bahan masukan pemerintah dalam merumuskan peraturan tentang pengawasan dan pengendalian produk tembakau, antara lain:
- Perlunya Pemerintah mengeluarkan peraturan pelarangan total iklan dan promosi rokok, karena iklan dan promosi rokok dari industri rokok merupakan publikasi yang tidak mendidik dan menyesatkan bagi masyarakat. Di sisi lain tidak adanya iklan dan promosi produk rokok tidak akan mempengaruhi penjualan produk rokok itu sendiri, karena rokok adalah benda adiktif yang memiliki rasa ketergantungan yang tinggi bagi yang mengkonsumsinya;
- Adanya peraturan pemerintah dalam pelarangan penjualan rokok secara eceran (batangan) namun melakukan penjualan dengan sistem pack, hal ini untuk menghindari keterjangkauan masyarakat miskin dan anak-anak dalam mengkonsumsi rokok;
- Pemerintah setiap tahun menaikkan cukai rokok sehingga harga rokok pun tidak dapat terjangkau oleh anak-anak dan masyarakat miskin, di sisi lain penerimaan negara dari cukai rokokpun akan meningkat. Hal ini juga sebenarnya tidak akan mengurangi pendapatan dari industri rokok, karena cukai rokok dibebankan pada konsumen;
- Pembatasan wilayah/area merokok dan tidak merokok terutama di tempat publik yang tertutup, agar menciptakan ketertiban antara masyarakat perokok dengan yang tidak merokok;
- Memperketat pengeluaran izin pendirian industri rokok di Indonesia agar jumlah rokok maupun peredaran rokok di Indonesia dapat terpantau;
- Menampilkan gambar atau menggambarkan informasi tentang bahaya merokok dalam bungkus rokok, hal ini sebagai bagian dari bentuk pertanggungjawaban industri rokok atas produk yang dihasilkannnya;
Dari 6 (enam) hal tersebut merupakan cara dalam menjembatani persoalan peredaran produk rokok di masyarakat, karena dengan adanya regulasi yang mencakup hal-hal tersebut di atas, di satu sisi industri rokok masih dapat memproduksi, di sisi lain adanya perlindungan dari pemerintah bagi warganya atas bahaya dampak dari asap rokok itu sendiri, terutama pada anak dan masyarakat miskin serta masyarakat non-perokok. Sehingga pemerintah tidak melakukan pembiaran atas hak-hak kesehatan dan hidup sehat warganya akibat bahaya asap rokok.
*) Wilfun Afnan adalah Pekerja Sosial; Ketua Umum Lembaga Kesejahteraan Sosial Indonesia; dan Program Manager Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar