KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Warga melintas di antara puing rumah dan bangkai hewan di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, setelah diterjang awan panas letusan Gunung Merapi, Rabu (27/10/2010). Akibat letusan berapi ini, ribuan warga mengungsi, ratusan rumah hancur, dan 26 orang meninggal dunia.
Tempat tinggal juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan (83), di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Sleman, DI Yogyakarta, luluh lantak tersapu awan panas. Tak satu pun bangunan tegak berdiri tanpa kerusakan. Alam yang dulunya hijau berubah menjadi kelabu hanya dalam hitungan menit. Mbah Maridjan pun ikut tewas akibat letusan Merapi, Selasa (26/10) petang.
Pantauan Kompas, kemarin, abu vulkanik setinggi lebih dari 10 sentimeter menutup lantai dan perabotan rumah Mbah Maridjan. Atap bangunan rata dengan tanah. Foto Mbah Maridjan bersama beberapa rekannya—termasuk atlet tinju Chris John—menyembul di antara reruntuhan rumah.
Tubuh Mbah Maridjan ditemukan dalam posisi sujud di rumahnya, Selasa malam. Tetangga Mbah Maridjan, Sumijo (40), mengaku salut dengan keteguhan Mbah Maridjan dalam menjalankan tugas sebagai juru kunci Merapi. ”Dedikasinya menjalankan tugas sebagai juru kunci perlu dicontoh,” kata Sumijo.
Mbah Maridjan, menurut Sumijo, sebenarnya sudah tahu bahwa kondisi Merapi tidak lagi aman. Kepada warga lain, ia menyarankan untuk segera mengungsi. Tetapi, sebagian di antara warga memilih tetap menunggui Merapi bersama Mbah Maridjan. Itulah sebabnya, ada banyak korban tewas dalam musibah ini. Setidaknya, tim relawan menemukan 31 jenazah saat mengevakuasi Desa Umbulharjo.
Menurut Sumijo, warga memang cenderung mengidolakan sosok Mbah Maridjan. Mereka tetap berjaga-jaga di kawasan desa meskipun Mbah Maridjan sudah meminta mereka untuk mengungsi.
Ketika menyadari kondisi semakin tidak aman, warga sebenarnya sudah akan ikut mengungsi. Tetapi, terlambat. Tetangga Mbah Maridjan, Wiyono, bersama istrinya, Emi, anaknya yang berumur satu bulan, dan ibunya turut masuk daftar korban tewas.
Sesaat sebelum diterjang awan panas, Wiyono menelepon aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Charitas, Kristanto, untuk mengevakuasi dia dan keluarganya. ”Tetapi, awan panas keburu menyapu Kinahrejo sebelum tim evakuasi tiba. Tim evakuasi tidak bisa masuk karena jalan tertutup pohon tumbang,” kata Kristanto menceritakan.
Ditutup
Tim relawan mengevakuasi jenazah korban di Kinahrejo pada Selasa malam dan Rabu dini hari. Menjelang siang kemarin, kawasan Kinahrejo kembali ditutup bagi masyarakat umum.
Selain Dusun Kinahrejo, Dusun Kaliadem juga luluh lantak diterjang awan panas. Bahkan, dua dusun itu dipaksa menyatu oleh material letusan Merapi yang membenam jalanan, merusak rumah-rumah penduduk, dan menumbangkan pohon-pohon. Ternak warga, seperti sapi, terpanggang hidup-hidup bak mengisyaratkan berakhirnya kehidupan di Kinahrejo.
Praktis Kinahrejo menjadi dusun yang mati. Tak ada lagi yang bisa diharap untuk sebuah kehidupan di sana. Seolah-olah telah tamat riwayat Kinahrejo bersama tokoh karismatiknya, Mbah Maridjan. Jika toh dipaksa untuk tetap menjadi wilayah hunian, membutuhkan pembenahan infrastruktur yang cukup lama dan itu bukan tidak mungkin.
Kini, yang masih tersisa di Kinahrejo adalah kebesaran mitosnya. Karena mitos ini pula seorang penulis asal Perancis, Elizabeth D Inandiak, membukukan mitos-mitos di Kinahrejo—yang banyak berbicara tentang kearifan alam dan manusia. Mitos Pohon Ringin Putih dan Batu Gajah yang berada di Kinahrejo, misalnya, dibukukan Elizabeth dengan judul The White Banyan. Mitos yang mengisahkan kecintaan dan harmoni antara manusia, binatang, dan alam itu dikisahkan dalam prosa yang menarik dengan pisau analisis kekinian. Dengan baik Elizabeth menceritakan konflik manusia dalam penyelamatan hutan.
Ungkapan-ungkapan almarhum Mbah Maridjan yang lugas dan penuh makna setidaknya telah mewarnai kehidupan sosial Kinahrejo. Kata-kata arif yang sering dia ungkapkan secara spontan, baik di jagongan manten (resepsi pernikahan), dalam pertemuan-pertemuan dusun, maupun acara informal, sedikit banyak telah memberi sebuah amsal bagi warganya.
Seperti ungkapannya yang dikutip dalam The White Banyan itu, ”Saya ini orang-orang bodoh.... Kalau orang pintar diberi satu, akan minta dua. Tapi, kalau orang bodoh diberi satu, akan disyukuri.”
Ini ungkapan Mbah Maridjan pula, ”Berjalan bertelanjang kaki, namun kepala saya selalu saya lindungi, karena kepala adalah bagian terhormat dari tubuh manusia. Bukankah dia yang memerintah kaki-kaki kita untuk melangkah?”
Ya, Kinahrejo boleh saja luluh lantak, Mbah Maridjan boleh mati, tetapi ia tetap meninggalkan kearifan-kearifan bagi yang mau mendengar.(sumber: Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar