Bantimurung adalah obyek wisata air terjun yang terletak di Kabupaten Maros, berjarak kurang lebih 15 km dari kota Makassar, dengan waktu tempuh perjalanan menggunakan angkutan umum kira-kira 1,5 jam.
Begitu sampai di pintu gerbang Bantimurung, dapat kita lihat patung Kera raksasa, yang konon patung kera ini menunjukkan bahwa dulunya Bantimurung ini adalah Kerajaan Kera. Sebelum masuk, pengunjung diharuskan membeli karcis masuk Rp.10.000 untuk Dewasa dan Rp.7500 untuk anak-anak.
Pemandangan pertama yang saya lihat adalah penuhnya pengunjung yang datang, ini dikarenakan minggu itu adalah minggu terakhir sebelum memasuki Bulan Ramadhan (puasa). Sudah menjadi tradisi dari masyarakat Makassar dan sekitarnya, untuk berekreasi mengunjungi tempat-tempat wisata sebelum Ramadhan tiba. Banyaknya bekal dan peralatan yang dibawa menggambarkan bagaimana antusias masyarakat Makassar untuk menghabiskan minggu terakhir bersama-sama dengan keluarga dan kerabat.
Pemandangan pertama yang saya lihat adalah penuhnya pengunjung yang datang, ini dikarenakan minggu itu adalah minggu terakhir sebelum memasuki Bulan Ramadhan (puasa). Sudah menjadi tradisi dari masyarakat Makassar dan sekitarnya, untuk berekreasi mengunjungi tempat-tempat wisata sebelum Ramadhan tiba. Banyaknya bekal dan peralatan yang dibawa menggambarkan bagaimana antusias masyarakat Makassar untuk menghabiskan minggu terakhir bersama-sama dengan keluarga dan kerabat.
"Mulai dari SMA selalu ka' datang ke Bantimurung,terutama sebelum puasa dimulai, kan hari terakhir ji bisa senang-senang," ucap Adhi (27thn, Makassar), salah satu pengunjung minggu itu.
Air Terjun dan Gua Batu
Tempat pertama kali saya tuju adalah air terjun utama. Sayangnya, air yang turun tidak begitu deras, karena sudah beberapa bulan terakhir ini tidak turun hujan di Makassar. Namun itu tidak mengurangi minat pengunjung untuk mandi, bermain air dan berenang menikmati segarnya air pegunungan.
Setelah puas bermain air di air terjun utama, tempat selanjutnya yang saya kunjungi adalah Gua Batu yang terletak +/- 800 meter dari air terjun utama. Jalan yang ditempuh cukup melelahkan, karena menanjak dan lumayan sulit untuk dilalui. Di Dekat Gua Batu terdapat air terjun kecil, yang dikelilingi batu-batu besar.
Masuk ke dalam Gua Batu, dibutuhkan alat penerangan, seperti senter karena keadaan di dalam sangatlah gelap. Jika membawanya, tidak perlu khawatir, di mulut gua ada penjual jasa penyewaan senter. Membayar Rp.10000 untuk satu senter kita bisa memulai petualangan menyelusuri gelapnya Gua Batu.
Gua Batu ini sendiri adalah gua yang memang terdiri dari batu-batuan besar dengan lubang-lubang yang besar juga. Terdapat pula stalagtit yang sangat indah. Sebenarnya Gua Batu ini amatlah panjang jalurnya, namun dengan kondisi yang gelap, dan medan yang susah untuk di lalui, jadi pengunjung hanya dapat menikmati sebagian dari gua ini.
The Kingdom of Butterfly
Keluar dari Gua Batu, saya melanjutkan perjalanan ke Taman Kupu-Kupu. Sesuai dengan namanya, disini memang banyak sekali kupu-kupu berterbangan dengan bebas. Sangat indah, menikmati beraneka warna kupu-kupu, berkelompok, terbang kesana-kemari.
Saya jadi teringat kutipan pengalaman Alfred Russel Wallace (1823-1913) saat berada di Bantimurung (Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan), ditulisnya dalam buku The Malay Archipelago.
"Sekerumunan kupu-kupu Tachyris zarinda memamerkan warna kemerah-merahan dan jingga terang sayapnya. Di antara mereka sesekali melintas Papilio sambil mengipas-ngipaskan sayap lebarnya yang berwarna hitam dengan ornamen hijau-biru. Pada dahan-dahan berdaun rimbun di seberang sana, saya berharap dapat mengamati Ornithoptera dari dekat. Dan di semak belukar saya berhasil menangkap sejumlah kupu-kupu Amblypodia, serta beberapa kumbang dari famili Hispidae dan Chrysomelidae."
"Sekerumunan kupu-kupu Tachyris zarinda memamerkan warna kemerah-merahan dan jingga terang sayapnya. Di antara mereka sesekali melintas Papilio sambil mengipas-ngipaskan sayap lebarnya yang berwarna hitam dengan ornamen hijau-biru. Pada dahan-dahan berdaun rimbun di seberang sana, saya berharap dapat mengamati Ornithoptera dari dekat. Dan di semak belukar saya berhasil menangkap sejumlah kupu-kupu Amblypodia, serta beberapa kumbang dari famili Hispidae dan Chrysomelidae."
Begitu eksotis dan beragamnya kupu-kupu di Bantimurung yang dia temui waktu itu sehingga biolog naturalis Inggris yang menghabiskan sebahagian waktunya di Bantimurung ini menyebut Bantimurung adalah the Kingdom of Butterfly (Kerajaan Kupu-kupu).
Mengingat apa yang ditulis naturalis Inggris ini saya membayangkan tengah berada dirimbunan semak belukar menikamati kupu-kupu beranekawarna indah sedang menari-nari di alam bebas mengepakkan sayapnya dengan gemulai.
Namun sayang, keadaan Bantimurung dibanding sekarang sangatlah berbeda dari apa yang ditulis oleh Alfred Russel Wallace saat itu. Padahal wisatawan yang datang berkunjung di Bantimurung hanya ingin menyaksikan apakah Bantimurung yang dulunya di juluki "The Kingdom of Butterfly" masih lestari seperti dulu?.
Tapi apa yang bisa dilihat sekarang?, dari 300 spesies kupu-kupu yang pernah ada atau sekitar 10,8 spesies yang ada di Indonesia kini tersisa tinggal 108 spesies. Sangat memprihatinkan, kupu-kupu yang selama ini elok dipandang mata di alam terbuka, kini satu persatu spesies telah hilang entah kemana.
Puas berjalan-jalan diatas bukit saya kemudian kembali menuruni tangga, dan terus berjalan keluar melewati para pengunjung yang sibuk dengan aktivitas masing-masing, ada yang sudah berkemas hendak pulang ada yang duduk dibawah pohon sambil menikmati makanan ringan, adapula yang masih mandi-mandi, baik dibawah air terjun, maupun dikolam kecil.
Usaha Pelestarian Kupu-kupu
Sepanjang perjalanan keluar saya melintasi penjual kupu-kupu awetan yang berjajal disisi kanan jalanan saya kemudian menghampiri mereka, bertanya kepada salah satu penjual kupu-kupu tentang bagaimana mereka mendapatkan kupu-kupu yang begitu banyak. Dengan lugu seorang penjual yang masih menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah itu menuturkan kalau kupu-kupu itu dari hasil penangkapan di luar kawasan yang dilindungi di alam bebas nun jauh di atas bukit sana. Seminggu sekali dia pergi menangkap kupu-kupu dengan menggunakan peralatan tradisional yaitu jala. Kupu-kupu yang ditangkap diawetkan dengan cara disuntik dengan formalin dan dijemur baru setelah itu dikemas. Kemasannya bisa berupa bingkai atau dalam plastik yang dipres. Harga per-ekor rata-rata Rp 5.000 tergantung jenis dan warnanya. Hasil penjualannya dia gunakan untuk biaya sekolah tuturnya dengan logat bugis yang sangat kental.
Saya mengatakan kepadanya jika berburu kupu-kupu itu bisa membuat habitat kupu-kupu menjadi punah, saya bertanya mengapa mereka tidak membuat penagkaran saja daripada harus berburu liar? Dia menjawab dengan senyum yang sangat polos sambil berkata, "aih... mahalki kasian kalo bikin penagkaran". Ah.. saya sedih mendengarnya. Pantas saja kupu-kupu itu hari demi hari semakin tidak kelihatan, coba kita bayangkan jika perburuan liar terus menerus mereka lakukan bagaimana nasib kupu-kupu Bantimurung 20 tahun yang akan datang?. Mungkin saja aneka ragam kupu-kupu hanya sepenggal kisa lalu yang kita wariskan kepada anak cucu kita kelak jika tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah.
Saya terus berjalan keluar, disebelah kanan jalan saya melihat sebuah gerbang berwarna orange tua di diatasnya bertuliskan "Center For Butterfly Breeding" atau Pusat Penangkaran Kupu-kupu. Dua orang petugas wanita sedang duduk santai di depan, saya menyempatkan diri ngobrol sejenak dengan mereka. Kesedihanku sedikit terobati setelah mendengar penjelasan dari kedua petugas wanita itu yang ternyata adalah petugas yang bertugas di museum kupu-kupu. Dari mereka saya memperoleh informasi bahwa saat ini mereka sedang menyelamatkan habitat kupu-kupu melalui usaha penangkaran. Berbagai jenis species yg langkah di kembang biakkan dipenangkaran.
Selain itu ada beberapa kelompok masyarakat yang sedang giat melestarikan habitat kupu-kupu, kelompok itu disebut dengan nama Masyarakat pelestari kupu-kupu dan dibina oleh BKSDA Sulsel. Mereka berusaha menyelamatkan berbagai jenis kupu-kupu endemik Sulsel.
Mereka melakukan kegiatan penangkaran di luar habitat (ex situ) mereka memilih kupu-kupu yang populasinya menurun tajam dari waktu ke waktu, melaksanakan restocking atau pemulihan populasi di alam dengan melepas sebagian hasil penangkaran ke alam dan sebagian lagi dijadikan sumber pendapatan para penangkar.
Mereka melakukan kegiatan penangkaran di luar habitat (ex situ) mereka memilih kupu-kupu yang populasinya menurun tajam dari waktu ke waktu, melaksanakan restocking atau pemulihan populasi di alam dengan melepas sebagian hasil penangkaran ke alam dan sebagian lagi dijadikan sumber pendapatan para penangkar.
Sebenarnya perburuan liar kupu-kupu tidak akan terjadi jika Pemda setempat mampu memperbaiki kondisi sosial ekonomi warga yang bermukim di sekitar taman wisata. Setidaknya upaya sosialisasi teknik penangkaran, dan sekaligus pembiayaan penangkaran bagi warga, saya yakin mampu mencegah perburuan liar kupu-kupu.
Setelah berbincang-bincang sejenak dengan petugas di depan penangkaran kupu-kupu saya berjalan keluar, sebelum beranjak meninggalkan pusat penangkaran kupu-kupu saya menyempatkan diri berfoto dijembatan yang ada di depan penangkaran.
Ada satu lagi lokasi yang ada di Bantimurung yaitu Gua Mimpi. Hanya sayang sekali, tempat yang satu itu tidak sempat saya kunjungi. Selain karena jauhnya jarak yang akan di tempuh, hari yang sudah mulai sore, juga makin banyak pengunjung yang datang. Menurut cerita yang saya dapat, bahwa di Gua Mimpi ini dapat kita lihat banyaknya kelelawar, baik itu yang bergelantungan di dinding Gua, maupun yang terbang bebas. Ini dikarenakan keadaan di dalam Gua Mimpi yang gelap gulita.
Itulah cerita saya tentang Bantimurung yang mempesona. Jika kalian sedang berada di Makassar, luangkan waktu untuk berkunjung, berekreasi ke Bantimurung.###
Itulah cerita saya tentang Bantimurung yang mempesona. Jika kalian sedang berada di Makassar, luangkan waktu untuk berkunjung, berekreasi ke Bantimurung.###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar