Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

ASSIKALABINENG (KAMASUTRA VERSI BUGIS) bagian 2

Meskipun pengetahuan praktis (practikal knowledge) di Assikalabineng ini ditujukan untuk masyarakat umum, namun tak mudah mendapatkan informasi yang lengkap dalam bentuk tertulis seperti pada naskah lontara. Hanya segelintir orang dengan strata sosial tertentu yang bisa menyimpan naskah-naskah kuno itu atau mendapatkannya dari penuturan. Dan karena itu boleh jadi Assikalabineng ini pernah menjadi paddissengan, atau pengetahuan yang eksklusif.
Mari lihat tentang cara mendekati istri (halaman 93) menurut Assikalabineng. "Jika kamu mau menyentuh pintu kiri, tekuk kaki kirimu dan luruskan kaki kanannya, pastilah kamu menyentuh pintu kiri. Pada akhirnya di situlah perempuan akan menemukan kenikmatan..."

Di halaman 102. "Perlakukan semampu kamu hingga kenikmatan mencapai puncak. Pertemukan mulutmu dengan mulutnya. Hidungmu dengan hidungnya. Matanya dengan matamu. Dahinya dengan dahimu. Pastikan bahagian tubuhmu dan tubuhnya bertemu. Arahkan salah satu tanganmu ke farjinya. Tangan satunya lagi memegang kepalanya. Julurkan lidahmu, gigit lidahnya dan isaplah nafasnya. Ucapkan zikir ini A-I-U. Ucapkan dalam hati, "tubuhmu lenyap di tubuhku. Hatimu lenyap di hatiku, rahasiamu lenmyap di rahasiaku...". Tentang bagaimana menghadapi orgasme (halaman 112). "Apabila zakarmu telah masuk, tahanlah nafasmu. Janganlah lupa diri dan jangan terlalu bernafsu. Ingatlah kata syareat dalam persetubuhan. Jika mani telah keluar, maka lepaslah nafas sedikit demi sedikit. Jangan melepasnya sekaligus. Lepaskan sebanyak empat tahap lalu merasakan kenikmatannya." Ada pula cara memanjakan istri sehabis berhubungan (halaman 120). "Apabila kamu selesai bersetubuh, luruskan kaki dan sejajarkan lutut istri dengan baik. Tekan panggulnya dan usap pula keringatnya. Pegang pula persendiannya. Usap-usaplah seluruh tubuhnya sampai dia tertidur baru kamu berhenti."
Tentang waktu dan hari bersetubuh yang ideal pun dikemukakan. Ada empat hari baik yakni malam Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. Kendati demikian, malam-malam itu tidak begitu mengikat, terutama jika berkaitan dengan vitalitas tubuh, situasimental, dan lingkungan.
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.
Penulis menggunakan istilah tasawupe' allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan.
Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini. Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah. Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka. Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.
"Kala itu," tulis Muhlis, "Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, "Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?"
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. "Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya."
"Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak
Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu." Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat. Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.
Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami. "lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar."
Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.
Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa'na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.
"Narekko mupattamamai kalammu, iso'i nappasse'mu". Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase'mu), dan menyebutkan budduhung.
Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa'na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh "timungeng bunga sibollo" (klitoris bagian kiri). Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80) "Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae/ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna/.....! Pada ppuncu'ni katauwwammu pada'e tosa mpuccunna bunga'e (sibolloe)/tapauttmani' katawwammu angkanna se'kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau...., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu/subhanallah../" Artinya, "....arahkan zakarmu, dan bacalah ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna/....kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, ... ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali.... (hal 144).
Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (bersambung ke bagian 3-terakhir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar