Sepercik Kisah Perlawanan Anak Negeri di Rantau Oleh NGADIRAN
Memasuki dekade terakhir abad XX banyak teman di Belanda dihadapkan pada tantangan keras ketika bertekad meneruskan perjuangan ke arah perbaikan situasi HAM di Indonesia. Kami tidak mampu mengimbangi gemuruh pemberitaan pergolakan seru di Eropa Timur. Dan perlawanan di tanah air pun tak menampakkan batang hidungnya, bak sedang bertiarap.
Tiba-tiba gairah pun muncul ketika sementara cendekia-aktivis muda di tanah air berhasil mengaktualkan Sumpah Pemuda: Satu tanah air, tanah air yang bebas dari penindasan; satu bangsa, bangsa yang cinta damai; satu bahasa, bahasa yang menjunjung kebenaran.
Segera kami berusaha mengulangi niat untuk lebih menyatukan diri dengan derap usaha teman-teman di tanah air. Serangkaian gerak tampak bermunculan bagai silih berganti. Risalah Demi Demokrasi kami terbitkan, namun Jaksa Agung Sukarton cepat sekali melarang peredarannya. Teman-teman Bandung amat sigap dan tampak menjawab dengan menyiarkan Neraca HAM. Kelompok diskusi merebak di mana-mana, demikian pula dengan pembentukan ormas guna menangani masalah kaum tani dan buruh. Kampus ITB bergolak dan para mahasiswa Yogya pun gencar melakukan aksi protes. Gerak perlawanan terasa hidup.
Belum tuntas mengolah bentuk interaksi yang lebih efektip dengan teman-teman di tanah air, kami dicekam oleh berita eksekusi tapol PKI yang datang bertubi-tubi bagaikan menantang. Bagi khalayak Belanda, berita eksekusi terdengar absurd. Para tapol, termasuk sanak-keluarga dan segenap relasinya, telah menanggung derita ketika di penjara selama bertahun-tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun, yang akhirnya harus siap hanya untuk dibunuh. Aksi protes terhadap eksekusi 2 tapol (akhir 1989) dan 4 tapol lainnya (Februari 1990) itu tidak lebih dari cerminan ketidak-berdayaan kami menghadapi rezim fasis Soeharto.
Namun, teman Jusfiq terus-menerus menyatakan kegusarannya dan tak henti-henti menilpon kami untuk bertukar-pikiran sembari mengantisipasi bila Soeharto hendak mengeksekusi tapol lagi. Jusfiq memiliki firasat seperti itu. Dan dia tidak dapat hanya berpangku-tangan sembari menunggu berita perkembangan. Tak urung berbagai pertemuan darurat digelar untuk menjawab pertanyaan tunggal: Apa yang harus dikerjakan? Berbagai sisi masalah eksekusi kami soroti:
perkembangan gerak perlawanan di tanah air; situasi politik inter nasional; dan perkembangan ekonomi-politik dalam negeri. Kesimpulan cenderung mengarah pada pautan eksekusi dengan bantuan IGGI. Isu eksekusi digunakan Suharto sebagai alat peras untuk memperoleh (komisi) dana bantuan/hutang lebih besar.
Belum sempat menemukan bentuk antisipasi yang mantab, tiba-tiba teman Jusfiq menerima berita dari sumber sahih: terdapat gelagat bahwa 6 tapol PKI (Ruslan W. dkk) akan dieksekusi dalam waktu dekat. Bak petir di siang bolong. Tak pelak, giliran kawan Basuki Resobowo menunjukkan sikap lugasnya. Dia menuntut agar kami jangan hanya tenggelam berbicara yang mengarah pada kekenesan intelektualisme. Pak Bas bersikeras pula agar kami segera meninggalkan cara-cara protes konvensional bila, meski dari Belanda, sungguh-sungguh berniat mencoba menentang rezim fasis-militeristik itu.
Sejatinya, tuntutan Pak Bas tersebut menjadi landasan kami bersikap. Maka, dari jam ke jam kami dicekam oleh ketegangan, karena tidak ingin didahului oleh berita baru yang menyatakan bahwa 6 tapol PKI telah dieksekusi. Ini berlangsung berhari-hari, ketika kami mendayuh sepeda menuju kampus, di tengah-tengah kuliah, serta ketika menyusuri keramaian kota Leiden dan Amsterdam untuk berembug dengan berbagai pihak yang menaruh perhatian pada isu eksekusi tapol PKI. Bentuk aksi yang jitu belum juga dapat kami temukan.
Syahdan, dalam suatu perjalanan pulang pada pagi buta seusai kerja sebagai pelayan rumah makan, tiba-tiba pleidoi Enin datang menyelinap dalam benak. Perasaan masih asyik mengulang-ulang bait lirik dari Police/Sting seperti terkutip, dan belum selesai pula melerai gemuruh semangat dan sistematika argumentasi seperti tersusun dalam lembar-lembar pleidoi itu, tiba-tiba melintas pula kronologi mogok makan mahasiswa ITB. Ondos dilaporkan tak sadar diri dan diangkut ke rumah sakit. Terinspirasi oleh bentuk aksi demikian, maka bathin pun menggelinjang berteriak: Kami siap menggelar mogok makan di Amsterdam untuk menentang eksekusi Ruslan W. dkk. Hampir saja arah pulang kubelokkan menuju sebuah kelder, tempat Pak Bas bermukim di belahan
timur Amsterdam. Namun, segera kusadari bahwa aku harus pulang menemui istri untuk menyerahkan upah kerja yang baru kuperoleh. Pagi hari pada Maret 1990 itu, cuaca tidak menyambut kami dengan ramah. Namun, tetap kuputuskan menuju ke Pak Bas sebelum ke kampus. Setibanya, kuketok jendela mungil berkali-kali, namun tak dibuka.
Sahutan suara lirih Pak Bas pun tak terdengar. Aku yakin Pak Bas di rumah. Kuingat pesan dia tentang `jalan tikus' menuju kamarnya. Kulewati jalan itu. Aku harus menemuinya untuk menyampaikan temuan pagi buta tadi. Memasuki kamar, tidak seperti biasa aku menghirup bau cat minyak/lukis, namun kali ini disergap oleh bau balsam. Karuan, Pak Bas terbaring dalam keadaan lemah sekali, muka tampak pucat, dan bibir bergerak-gerak seperti ingin menyampaikan sesuatu. Sebuah jari tangan kanan bergetaran menunjuk perut. Pak Bas sedang berurusan dengan perutnya. Dalam kondisi begini, pantas kah aku membahas ide mogok makan?
Kepada Pak Bas akhirnya hanya kuberitahu adanya tekad mogok makan untuk menentang eksekusi tapol PKI, tanpa menelaah seluk-beluk persoalan teknis keorganisasian, apalagi menuntut keikut-sertaan dia yang ketika itu usianya menuju 75.
Mendengar tekad demikian, Pak Bas dalam keadaan menahan sakit perut, urat raut mukanya tiba-tiba tampak mengendur. Sorot matanya terasa menembus mataku. Sembari menganggukkan kepalanya perlahan, perlahan sekali, dia berusaha menggerakkan bibir, namun gagal menyuarakan sesuatu. Aku segera menangkap maksudnya. Kuminta dia tenang beristirahat. Setelah kubuatkan seteko teh hangat dan meninggalkan pesan pada pemilik rumah, agar sesekali menengok Pak Bas yang sedang sakit perut, aku meneruskan perjalanan menuju kampus.
Usai kuliah, kami memberitahu teman Jusfiq tentang tekad mogok makan tersebut. Dia mendukung dan akan berusaha menghidupkan simpul-simpul yang dapat mengelola aksi tersebut secara organisatoris. Pimpinan PPI Amsterdam, Reza, segera kami temui menjelang sore hari, di sela-sela kuliahnya, untuk dukungan dan keikut-sertaannya secara aktip. Dengan Reza, kami merasa cepat dapat saling meyakinkan arti penting aksi itu.
Seperti biasa, Komite Indonesia pun sangat gelisah dengan ancaman eksekusi, dan kali ini mengundang sejumlah kawan untuk bertemu guna membicarakan dan menentukan bentuk aksi. Gayung pun bersambut. Kami memutuskan untuk menghadiri pertemuan terbatas tersebut. Di situ muncul pula Reza (PPI Amsterdam), juga Lex selaku wakil ASVA, sebuah serikat buruh-mahasiswa Universitas Amsterdam. Terdapat pula dua orang Indonesia in exile lanjut usia. Seorang di antaranya tampak mewakili establishmen yang ada, sedangkan yang lain mewakili kelompok `sempalan'. Selain itu hadir pula beberapa kalangan lain yang mewakili ormas dan orpol progresip Belanda.
Satu jam lebih telah lewat, pertemuan belum juga berhasil menelorkan bentuk aksi yang mantap. Kalau pun sempat terucap, tidak lebih dari menjentreng spanduk di pusat keramaian kota Amsterdam. Itu hanya menarik sebagai obyek tontonan wisatawan saja, komentar sinis dari pihak Komite yang sekaligus memegang kendali pimpinan rapat. Petisi pun dirasakan tidak akan efektip lagi.
Ketika pertemuan tampak jenuh dan cenderung buntu, maka kami tanpa ragu sedikit pun mengajukan aksi dalam bentuk mogok makan. Seluruh hadirin tertegun sejenak. Silih berganti akhirnya satu demi satu menyatakan dukungannya. Seseorang tampak berhati-hati dengan mencoba menempatkan masalah eksekusi dalam konteks polarisasi dalam tubuh tentara. Ini terjadi ketika kami mencoba merumuskan tuntutan aksi mogok makan: Stop eksekusi tapol PKI!; Hargai HAM dan tegakkan demokrasi!
Stop IGGI!!! Pertemuan menyetujui tuntutan aksi ini. Komite Indonesia disepakati sebagai pihak organisator aksi mogok makan. Kemudian, kami bersama Reza segera berembug untuk menentukan hari H.
Sungguh tidak mudah melaksanakan tekad mogok makan tersebut, karena masing-masing belum berhasil mengatasi tanggung-jawab dan beban universitas, belum lagi persoalan pribadi lainnya. Pihak tertentu memandang aksi mogok makan terlalu ekstrim, dan teman Jusfiq memperoleh cap kontrev. Dalam situasi begitu, muncul usulan dari seorang bekas fungsionaris Komite agar segera dilakukan mogok makan oleh 6 aktivis secara bergilir selama 6 hari, sebagai protes simbolik terhadap rencana Suharto mengeksekusi 6 tapol. Tak urung, di sela-sela istirahat seminar di Atrium Universitas Amsterdam, `Mira', seorang putri eks tapol 1965 mendekati kami sembari menyatakan ketidak-setujuannya terhadap bentuk aksi simbolik-pragmatik seperti diusulkan tersebut. Sembari mengacu filsafat mogok makan, `Mira' menuntut agar kemurnian misi dipertahankan secara sungguh-sungguh!
Mencoba konsisten, maka proses yang kemudian dimasuki menjadi agak rumit, namun akhirnya kami, empat mahasiswa Indonesia di Belanda, berhasil menyatukan diri untuk segera melaksanakan mogok makan. Pada 5 April pagi hari, selembar surat wasiat telah kami susun, berisikan bila akhirnya kami meninggalkan dunia fana ini akibat aksi mogok makan menentang eksekusi 6 tapol PKI, maka buku kami sejumlah 2.305 judul harap diserahkan kepada Enin c.s. di Bandung dan 3 B di Yogya.
Bersama dengan delegasi Komite Indonesia, kami bersama `Mira' bertemu di bandara Schiphol pada siang 5 April itu, untuk melepas Menteri Pronk selaku ketua IGGI menuju Jakarta. Bersama pimpinan delegasi c.q. Komite, kami berpesan agar dalam pertemuan dengan Soeharto, Pronk mengajukan tuntutan kami. Diberitahukan pula bahwa begitu pesawat mengangkasa menuju Jakarta, kami pun bertolak ke Amsterdam untuk memulai aksi mogok makan, dan kami hanya berhenti mogok makan, bila rencana mengeksekusi 6 tapol PKI dibatalkan. Usai melepas Pronk di bandara, kami segera menyusul 2 peserta mogok makan lainnya, Reza dan `Dahlan' (putra bungsu eks tapol 1965) yang telah menunggu di lokasi, yakni Beursplein, sebuah pelataran umum di pusat keramaian kota Amsterdam. Pelataran tersebut menghadap salah satu jalan protokol, dan diapit oleh sejumlah bangunan perdagangan bursa dan pertokoan mewah. Ah, pandai juga pimpinan Komite memilih lokasi sembari berusaha memaknai aksi kami, pikirku.
Tiba di pelataran, kami berempat memasuki sebuah tenda, dan dengan khidmat saling berpegang-tangan mengukuhkan niat ingsun bersama: apa pun risikonya, kami tidak akan berhenti mogok makan sebelum Soeharto membatalkan niat mengeksekusi 6 tapol PKI. Di luar tenda, berkerumun sejumlah aktivis Komite. Ketika kami bersama-sama keluar, mereka menyambut dengan hangat dan kami pun menggabungkan diri mengikuti pertemuan sebagai tanda pembukaan aksi mogok makan secara resmi. Kemudian, kami menerima setangkai bunga mawar merah mungil yang sedang merekah dengan indahnya dari pengurus Komite: perhatian yang sungguh menguatkan keteguhan yang baru kami kukuhkan. Setiap malam hingga
subuh, para pimpinan Komite secara bergilir selalu berjaga-jaga di sekitar tenda.
Pada pagi hari pertama mogok makan, 6 April, matahari menjulang tinggi bak siap membekali tenaga yang kami butuhkan. Gemuruh gelinding roda besi kereta listrik bernomor 9 pertama pagi itu baru saja lewat menuju pusat pemberhentian kereta, memecah kesenyapan jalan protokol Rokin yang belum juga menampakkan kehidupan nyata kota. Tak lama kemudian, kami melihat dari kejauhan seorang laki-laki lanjut usia bertubuh tinggi, berjalan sedikit terhuyung, tapi lurus ke arah tenda mogok makan. Akh, itu pasti Pak Bas, gumam kami serempak. Benar! Dari jarak sekitar 30 meter tampak Pak Bas melempar senyum ringannya yang khas, sembari menyorotkan kedua matanya ke arah kami dengan hangat sekali. Suasana menjadi amat menggairahkan. Sejak itu Pak Bas selalu bersama kami, sembari menyelesaikan lukisan tentang Ruslan W. serta 5 kawan lainnya yang sedang terancam eksekusi. Tanpa subutir nasi pun masuk ke dalam perut, hari-hari pertama kami lewati dengan tidak mudah. Hanya keteguhan tekad dan dukungan moral ratusan kawan-kawan, misi mogok makan terawat baik. Jam demi jam, hari demi hari akhirnya berlalu tak terasa. Kami sibuk berbincang-bincang dengan para pengunjung yang berasal dari macam-macam lapisan masyarakat Belanda, termasuk sesama mahasiswa dan dosen universitas kami, anggota parlemen dan perwakilan berbagai ormas dan orpol. Permintaan wawancara dari media cetak, tv, dan radio pun datang silih berganti. Pelbagai pernyataan media pun sempat kami tayangkan, a.l. sebagai tanggapan perselisihan menlu V.d. Broek dengan ketua IGGI Pronk di seputar stile diplomatie vs. Démarche yang menyangkut tuntutan pencabutan eksekusi tapol PKI. Tak kurang dari 10 hari berturut-turut, media massa Belanda sempat memusatkan diri pada isu eksekusi tapol PKI. Ketika memasuki hari ke 6, peserta aksi sempat berkembang menjadi 10.
Di pelataran mogok makan, terdapat pula aktivis Komite yang setiap hari dengan tekun sekali menjaring kerumunan massa untuk dimintai tanda-tangan sebagai bentuk dukungan tuntutan aksi. Ratusan lembar A4 penuh berisi tanda-tangan sempat terkumpul. Dengan setia teman Jusfiq selalu datang memasok kami dengan berita-berita aktual dari tanah air. Dan di pelataran itu pula, setiap hari berdatangan berbagai kelompok orang Indonesia yang sebelumnya susah akur satu sama lain. Seiring dengan tuntutan aksi, mereka saling menyatukan diri, juga bersama kami, termasuk dan terutama dengan Pak Bas selaku bapak rokhani kami. Sebuah impuls positip pun muncul, dan sempat membawa kami selama bertahun-tahun ke suatu dinamika disertai pasang-surut gerak. Ini memerlukan pengungkapan tersendiri.
Kemudian, pada 16 April pagi hari, Pronk tiba kembali dari Jakarta. Bersama dengan sejumlah regu tv, dia langsung dari bandara mendatangi tenda kami. Pronk menyampaikan bahwa tuntutan kami didengar serius oleh Soeharto, dan dia memohon agar kami segera mengakhiri aksi mogok makan. Menjelang magrib pada hari itu, sebuah pesan telah sampai ke kami, berisi ucapan terimakasih dari para tapol dan keluarganya. Sungguh melegakan telah menerima sebuah isyarat kehidupan dari tanah air. Pada saat itu, mogok makan pun dengan ikhlas kami akhiri untuk sementara.
Belum tuntas mengolah bentuk interaksi yang lebih efektip dengan teman-teman di tanah air, kami dicekam oleh berita eksekusi tapol PKI yang datang bertubi-tubi bagaikan menantang. Bagi khalayak Belanda, berita eksekusi terdengar absurd. Para tapol, termasuk sanak-keluarga dan segenap relasinya, telah menanggung derita ketika di penjara selama bertahun-tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun, yang akhirnya harus siap hanya untuk dibunuh. Aksi protes terhadap eksekusi 2 tapol (akhir 1989) dan 4 tapol lainnya (Februari 1990) itu tidak lebih dari cerminan ketidak-berdayaan kami menghadapi rezim fasis Soeharto.
Namun, teman Jusfiq terus-menerus menyatakan kegusarannya dan tak henti-henti menilpon kami untuk bertukar-pikiran sembari mengantisipasi bila Soeharto hendak mengeksekusi tapol lagi. Jusfiq memiliki firasat seperti itu. Dan dia tidak dapat hanya berpangku-tangan sembari menunggu berita perkembangan. Tak urung berbagai pertemuan darurat digelar untuk menjawab pertanyaan tunggal: Apa yang harus dikerjakan? Berbagai sisi masalah eksekusi kami soroti:
perkembangan gerak perlawanan di tanah air; situasi politik inter nasional; dan perkembangan ekonomi-politik dalam negeri. Kesimpulan cenderung mengarah pada pautan eksekusi dengan bantuan IGGI. Isu eksekusi digunakan Suharto sebagai alat peras untuk memperoleh (komisi) dana bantuan/hutang lebih besar.
Belum sempat menemukan bentuk antisipasi yang mantab, tiba-tiba teman Jusfiq menerima berita dari sumber sahih: terdapat gelagat bahwa 6 tapol PKI (Ruslan W. dkk) akan dieksekusi dalam waktu dekat. Bak petir di siang bolong. Tak pelak, giliran kawan Basuki Resobowo menunjukkan sikap lugasnya. Dia menuntut agar kami jangan hanya tenggelam berbicara yang mengarah pada kekenesan intelektualisme. Pak Bas bersikeras pula agar kami segera meninggalkan cara-cara protes konvensional bila, meski dari Belanda, sungguh-sungguh berniat mencoba menentang rezim fasis-militeristik itu.
Sejatinya, tuntutan Pak Bas tersebut menjadi landasan kami bersikap. Maka, dari jam ke jam kami dicekam oleh ketegangan, karena tidak ingin didahului oleh berita baru yang menyatakan bahwa 6 tapol PKI telah dieksekusi. Ini berlangsung berhari-hari, ketika kami mendayuh sepeda menuju kampus, di tengah-tengah kuliah, serta ketika menyusuri keramaian kota Leiden dan Amsterdam untuk berembug dengan berbagai pihak yang menaruh perhatian pada isu eksekusi tapol PKI. Bentuk aksi yang jitu belum juga dapat kami temukan.
Syahdan, dalam suatu perjalanan pulang pada pagi buta seusai kerja sebagai pelayan rumah makan, tiba-tiba pleidoi Enin datang menyelinap dalam benak. Perasaan masih asyik mengulang-ulang bait lirik dari Police/Sting seperti terkutip, dan belum selesai pula melerai gemuruh semangat dan sistematika argumentasi seperti tersusun dalam lembar-lembar pleidoi itu, tiba-tiba melintas pula kronologi mogok makan mahasiswa ITB. Ondos dilaporkan tak sadar diri dan diangkut ke rumah sakit. Terinspirasi oleh bentuk aksi demikian, maka bathin pun menggelinjang berteriak: Kami siap menggelar mogok makan di Amsterdam untuk menentang eksekusi Ruslan W. dkk. Hampir saja arah pulang kubelokkan menuju sebuah kelder, tempat Pak Bas bermukim di belahan
timur Amsterdam. Namun, segera kusadari bahwa aku harus pulang menemui istri untuk menyerahkan upah kerja yang baru kuperoleh. Pagi hari pada Maret 1990 itu, cuaca tidak menyambut kami dengan ramah. Namun, tetap kuputuskan menuju ke Pak Bas sebelum ke kampus. Setibanya, kuketok jendela mungil berkali-kali, namun tak dibuka.
Sahutan suara lirih Pak Bas pun tak terdengar. Aku yakin Pak Bas di rumah. Kuingat pesan dia tentang `jalan tikus' menuju kamarnya. Kulewati jalan itu. Aku harus menemuinya untuk menyampaikan temuan pagi buta tadi. Memasuki kamar, tidak seperti biasa aku menghirup bau cat minyak/lukis, namun kali ini disergap oleh bau balsam. Karuan, Pak Bas terbaring dalam keadaan lemah sekali, muka tampak pucat, dan bibir bergerak-gerak seperti ingin menyampaikan sesuatu. Sebuah jari tangan kanan bergetaran menunjuk perut. Pak Bas sedang berurusan dengan perutnya. Dalam kondisi begini, pantas kah aku membahas ide mogok makan?
Kepada Pak Bas akhirnya hanya kuberitahu adanya tekad mogok makan untuk menentang eksekusi tapol PKI, tanpa menelaah seluk-beluk persoalan teknis keorganisasian, apalagi menuntut keikut-sertaan dia yang ketika itu usianya menuju 75.
Mendengar tekad demikian, Pak Bas dalam keadaan menahan sakit perut, urat raut mukanya tiba-tiba tampak mengendur. Sorot matanya terasa menembus mataku. Sembari menganggukkan kepalanya perlahan, perlahan sekali, dia berusaha menggerakkan bibir, namun gagal menyuarakan sesuatu. Aku segera menangkap maksudnya. Kuminta dia tenang beristirahat. Setelah kubuatkan seteko teh hangat dan meninggalkan pesan pada pemilik rumah, agar sesekali menengok Pak Bas yang sedang sakit perut, aku meneruskan perjalanan menuju kampus.
Usai kuliah, kami memberitahu teman Jusfiq tentang tekad mogok makan tersebut. Dia mendukung dan akan berusaha menghidupkan simpul-simpul yang dapat mengelola aksi tersebut secara organisatoris. Pimpinan PPI Amsterdam, Reza, segera kami temui menjelang sore hari, di sela-sela kuliahnya, untuk dukungan dan keikut-sertaannya secara aktip. Dengan Reza, kami merasa cepat dapat saling meyakinkan arti penting aksi itu.
Seperti biasa, Komite Indonesia pun sangat gelisah dengan ancaman eksekusi, dan kali ini mengundang sejumlah kawan untuk bertemu guna membicarakan dan menentukan bentuk aksi. Gayung pun bersambut. Kami memutuskan untuk menghadiri pertemuan terbatas tersebut. Di situ muncul pula Reza (PPI Amsterdam), juga Lex selaku wakil ASVA, sebuah serikat buruh-mahasiswa Universitas Amsterdam. Terdapat pula dua orang Indonesia in exile lanjut usia. Seorang di antaranya tampak mewakili establishmen yang ada, sedangkan yang lain mewakili kelompok `sempalan'. Selain itu hadir pula beberapa kalangan lain yang mewakili ormas dan orpol progresip Belanda.
Satu jam lebih telah lewat, pertemuan belum juga berhasil menelorkan bentuk aksi yang mantap. Kalau pun sempat terucap, tidak lebih dari menjentreng spanduk di pusat keramaian kota Amsterdam. Itu hanya menarik sebagai obyek tontonan wisatawan saja, komentar sinis dari pihak Komite yang sekaligus memegang kendali pimpinan rapat. Petisi pun dirasakan tidak akan efektip lagi.
Ketika pertemuan tampak jenuh dan cenderung buntu, maka kami tanpa ragu sedikit pun mengajukan aksi dalam bentuk mogok makan. Seluruh hadirin tertegun sejenak. Silih berganti akhirnya satu demi satu menyatakan dukungannya. Seseorang tampak berhati-hati dengan mencoba menempatkan masalah eksekusi dalam konteks polarisasi dalam tubuh tentara. Ini terjadi ketika kami mencoba merumuskan tuntutan aksi mogok makan: Stop eksekusi tapol PKI!; Hargai HAM dan tegakkan demokrasi!
Stop IGGI!!! Pertemuan menyetujui tuntutan aksi ini. Komite Indonesia disepakati sebagai pihak organisator aksi mogok makan. Kemudian, kami bersama Reza segera berembug untuk menentukan hari H.
Sungguh tidak mudah melaksanakan tekad mogok makan tersebut, karena masing-masing belum berhasil mengatasi tanggung-jawab dan beban universitas, belum lagi persoalan pribadi lainnya. Pihak tertentu memandang aksi mogok makan terlalu ekstrim, dan teman Jusfiq memperoleh cap kontrev. Dalam situasi begitu, muncul usulan dari seorang bekas fungsionaris Komite agar segera dilakukan mogok makan oleh 6 aktivis secara bergilir selama 6 hari, sebagai protes simbolik terhadap rencana Suharto mengeksekusi 6 tapol. Tak urung, di sela-sela istirahat seminar di Atrium Universitas Amsterdam, `Mira', seorang putri eks tapol 1965 mendekati kami sembari menyatakan ketidak-setujuannya terhadap bentuk aksi simbolik-pragmatik seperti diusulkan tersebut. Sembari mengacu filsafat mogok makan, `Mira' menuntut agar kemurnian misi dipertahankan secara sungguh-sungguh!
Mencoba konsisten, maka proses yang kemudian dimasuki menjadi agak rumit, namun akhirnya kami, empat mahasiswa Indonesia di Belanda, berhasil menyatukan diri untuk segera melaksanakan mogok makan. Pada 5 April pagi hari, selembar surat wasiat telah kami susun, berisikan bila akhirnya kami meninggalkan dunia fana ini akibat aksi mogok makan menentang eksekusi 6 tapol PKI, maka buku kami sejumlah 2.305 judul harap diserahkan kepada Enin c.s. di Bandung dan 3 B di Yogya.
Bersama dengan delegasi Komite Indonesia, kami bersama `Mira' bertemu di bandara Schiphol pada siang 5 April itu, untuk melepas Menteri Pronk selaku ketua IGGI menuju Jakarta. Bersama pimpinan delegasi c.q. Komite, kami berpesan agar dalam pertemuan dengan Soeharto, Pronk mengajukan tuntutan kami. Diberitahukan pula bahwa begitu pesawat mengangkasa menuju Jakarta, kami pun bertolak ke Amsterdam untuk memulai aksi mogok makan, dan kami hanya berhenti mogok makan, bila rencana mengeksekusi 6 tapol PKI dibatalkan. Usai melepas Pronk di bandara, kami segera menyusul 2 peserta mogok makan lainnya, Reza dan `Dahlan' (putra bungsu eks tapol 1965) yang telah menunggu di lokasi, yakni Beursplein, sebuah pelataran umum di pusat keramaian kota Amsterdam. Pelataran tersebut menghadap salah satu jalan protokol, dan diapit oleh sejumlah bangunan perdagangan bursa dan pertokoan mewah. Ah, pandai juga pimpinan Komite memilih lokasi sembari berusaha memaknai aksi kami, pikirku.
Tiba di pelataran, kami berempat memasuki sebuah tenda, dan dengan khidmat saling berpegang-tangan mengukuhkan niat ingsun bersama: apa pun risikonya, kami tidak akan berhenti mogok makan sebelum Soeharto membatalkan niat mengeksekusi 6 tapol PKI. Di luar tenda, berkerumun sejumlah aktivis Komite. Ketika kami bersama-sama keluar, mereka menyambut dengan hangat dan kami pun menggabungkan diri mengikuti pertemuan sebagai tanda pembukaan aksi mogok makan secara resmi. Kemudian, kami menerima setangkai bunga mawar merah mungil yang sedang merekah dengan indahnya dari pengurus Komite: perhatian yang sungguh menguatkan keteguhan yang baru kami kukuhkan. Setiap malam hingga
subuh, para pimpinan Komite secara bergilir selalu berjaga-jaga di sekitar tenda.
Pada pagi hari pertama mogok makan, 6 April, matahari menjulang tinggi bak siap membekali tenaga yang kami butuhkan. Gemuruh gelinding roda besi kereta listrik bernomor 9 pertama pagi itu baru saja lewat menuju pusat pemberhentian kereta, memecah kesenyapan jalan protokol Rokin yang belum juga menampakkan kehidupan nyata kota. Tak lama kemudian, kami melihat dari kejauhan seorang laki-laki lanjut usia bertubuh tinggi, berjalan sedikit terhuyung, tapi lurus ke arah tenda mogok makan. Akh, itu pasti Pak Bas, gumam kami serempak. Benar! Dari jarak sekitar 30 meter tampak Pak Bas melempar senyum ringannya yang khas, sembari menyorotkan kedua matanya ke arah kami dengan hangat sekali. Suasana menjadi amat menggairahkan. Sejak itu Pak Bas selalu bersama kami, sembari menyelesaikan lukisan tentang Ruslan W. serta 5 kawan lainnya yang sedang terancam eksekusi. Tanpa subutir nasi pun masuk ke dalam perut, hari-hari pertama kami lewati dengan tidak mudah. Hanya keteguhan tekad dan dukungan moral ratusan kawan-kawan, misi mogok makan terawat baik. Jam demi jam, hari demi hari akhirnya berlalu tak terasa. Kami sibuk berbincang-bincang dengan para pengunjung yang berasal dari macam-macam lapisan masyarakat Belanda, termasuk sesama mahasiswa dan dosen universitas kami, anggota parlemen dan perwakilan berbagai ormas dan orpol. Permintaan wawancara dari media cetak, tv, dan radio pun datang silih berganti. Pelbagai pernyataan media pun sempat kami tayangkan, a.l. sebagai tanggapan perselisihan menlu V.d. Broek dengan ketua IGGI Pronk di seputar stile diplomatie vs. Démarche yang menyangkut tuntutan pencabutan eksekusi tapol PKI. Tak kurang dari 10 hari berturut-turut, media massa Belanda sempat memusatkan diri pada isu eksekusi tapol PKI. Ketika memasuki hari ke 6, peserta aksi sempat berkembang menjadi 10.
Di pelataran mogok makan, terdapat pula aktivis Komite yang setiap hari dengan tekun sekali menjaring kerumunan massa untuk dimintai tanda-tangan sebagai bentuk dukungan tuntutan aksi. Ratusan lembar A4 penuh berisi tanda-tangan sempat terkumpul. Dengan setia teman Jusfiq selalu datang memasok kami dengan berita-berita aktual dari tanah air. Dan di pelataran itu pula, setiap hari berdatangan berbagai kelompok orang Indonesia yang sebelumnya susah akur satu sama lain. Seiring dengan tuntutan aksi, mereka saling menyatukan diri, juga bersama kami, termasuk dan terutama dengan Pak Bas selaku bapak rokhani kami. Sebuah impuls positip pun muncul, dan sempat membawa kami selama bertahun-tahun ke suatu dinamika disertai pasang-surut gerak. Ini memerlukan pengungkapan tersendiri.
Kemudian, pada 16 April pagi hari, Pronk tiba kembali dari Jakarta. Bersama dengan sejumlah regu tv, dia langsung dari bandara mendatangi tenda kami. Pronk menyampaikan bahwa tuntutan kami didengar serius oleh Soeharto, dan dia memohon agar kami segera mengakhiri aksi mogok makan. Menjelang magrib pada hari itu, sebuah pesan telah sampai ke kami, berisi ucapan terimakasih dari para tapol dan keluarganya. Sungguh melegakan telah menerima sebuah isyarat kehidupan dari tanah air. Pada saat itu, mogok makan pun dengan ikhlas kami akhiri untuk sementara.
BACA PULA: SURAT EKS. TAPOL KEPADA KOMNAS HAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar